BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di era tahun 2010-an masih terngiang-ngiang di telinga warga, terutama ibu-ibu rumah tangga dengan teriakan pedagang minyak tanah keliling. Dengan suara yang nyaring menyebut “minyak-minyak” yang sontak membuat ibu-ibu bergegas keluar rumah dengan membawa jerigen kosong. Saat itu begitu mudahnya warga mendapatkan minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga seperti memasak, penerangan, dan lain sebagainya.
Di Indonesia pada masa itu, jumlah pedagang minyak tanah keliling sangat banyak hingga mudah ditemui. Banyak warga yang menggantungkan hidupnya dari pendapatan penjualan minyak tanah dan ribuan orang dinafkahi dari hasil usaha itu.
Namun, ketika pemerintah meluncurkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG (Liquid Petroleum Gas) atau yang disebut elpiji, produksi minyak tanah perlahan dikurangi.
Mau tidak mau kebijakan pemerintah tersebut memaksa sebagian besar pedagang minyak tanah keliling beradaptasi dengan kondisi jika ingin tetap bisa menafkahi keluarganya.
Seperti Suriansyah (75) saat ditemui klikkalsel.com di rumahnya yang berada di kawasan Sungai Miai Dalam, Rt 12 Banjarmasin Utara.
Ia mengaku awalnya menggantungkan nafkah keluarganya dari hasil berjualan minyak tanah yang ia geluti sejak tahun sejak tahun 2001 hingga tahun 2010.
Dikisahkannya dulu ia mampu menjual 30 sampai 50 liter perhari. Dengan begitu ia mampu membawa pulang keuntungan sebesar Rp 150 ribu hingga 200 ribu dari hasil jualan gas elpiji. Dan menurutnya itu mampu menghidupi anak dan istrinya.
“Dulu harga minyak masih murah, per liternya Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu. Dan itupun masih ada saja ibu-ibu yang menawar,”kenangnya sambil tersenyum, Jumat (19/2/2021).
Dulu saat ia berkeliling menjajakan minyak tanah, ia kerap meneriakan kata ‘minyak-minyak’ sebagai penanda kepada ibu-ibu akan kehadirannya. Dan hatinya gembira ketika mendapat mendapat jawaban “minyak” dari para pelanggan setianya.
“Ketika mendengar jawaban minyak, hati saya senang dan itu pertanda dagangan saya laku,”ucapnya sembari menyodorkan segelas teh panas kepada klikkalsel.
Namun setelah munculnya kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji, ia pun kini menjadi pedagang sekaligus kurir gas elpiji 3 kilo dan 5,5 kilo hingga sekarang.
Kini ia biasanya berkeliling ke perkampungan atau ke kios-kios untuk menjual dagangannya tersebut. Ia mengaku mendapatkan keuntungan Rp 3 ribu hingga Rp 5 ribu dari setiap tabung gas yang dijualnya tergantung dengan jarak ia mengantar.
“Itu tergantung antara jarak dimana saya membawa gas dari warung ke pembeli,”tuturnya.
Tapi sekarang dirinya tak lagi menjajakan gas elpiji lagi, tepatnya sudah hampir satu bulan lalu saat gas elpiji langka di pasaran. “Sudah sebulan tak jualan, selain karena susah dicari, saya juga takut ditangkap kalo jualan elpiji. Ditambah saat ini kondisi saya sering sakit-sakitan,”ucap Uri dengan nada sedih.
Ia mengungkakan banyak teman-teman seprofesinya dulu yang tak bisa apa-apa, berbagai usaha telah mereka coba, namun kondisinya selalu sama dan berakhir dengan kegagalan.
“Nasib orang kecil selalu di anak tirikan, dulu jualan minyak tanah, diganti sekarang jualan gas elpiji masih juga susah,”tutupnya. (Azka)
Editor: Abadi