Sejarah Masjid Raya Sabilal Muhtadin dari Lokasi Bekas Hotel Hingga Asrama Pulau Tatas

Sumber foto : Benteng tatas tahun 1930 an, Koleksi KITLV

“Sebagai tindak lanjut pembangunan Masjid Raya tersebut maka dibuatlah kesepakatan antara DPRD dan Gubernur Kepala Daerah. Dalam kesepakatan tersebut, diputuskan bahwa pembangunan Masjid Raya dicantumkan dalam APBD Provinsi Kalimantan Selatan dan didukung sepenuhnya oleh Kodam X/Lambung Mangkurat. Selanjutnya, antara Gubernur Kepala Daerah dengan Pangdam X/Lambung Mangkurat Iksan Sugiarto diadakan persetujuan tukar menukar komplek Asrama Tatas (komplek tentara) dan kemudian diteruskan oleh Supardjo,” jelasnya.

Persetujuan tukar menukar itu kemudian direstui oleh Menhankam serta Presiden RI. Setelah segala sesuatunya rampung, maka pada tanggal 10 November 1974 seusai memperingati Hari Pahlawan, Gubernur Subardjo dengan resmi melakukan pemancangan tiang pertama.

“Setelah lebih kurang lima tahun pembangunan kemudian tampaklah bangunan utama masjid raya yang telah lama diidamkan masyarakat Banjarmasin,” tuturnya.

Kemudian, pada tanggal 31 Oktober 1979 tepat pada Hari Raya Idul Adha 1399 H untuk pertama kalinya masjid raya tersebut dipergunakan oleh umat Islam, meskipun masih banyak yang perlu dibenahi dan disempurnakan seperti menara, halaman sekeliling masjid, sarana jalan dan sebagainya.

Untuk penyempurnaan yang masih diperlukan pada pembangunan itu masyarakat Banjarmasin baik muslim maupun nonmuslim turut serta membantu penyelesaian masjid raya dari berbagai cara, baik secara materi maupun nonmateri.

“Presiden RI, Soeharto juga memberikan bantuan berupa sebuah kubah emas bersama Menteri Dalam Negeri saat itu Amir Machmud yang digunakan untuk membangun menara besar Masjid Raya tersebut,” ujarnya.

Nama Sabilal Muhtadin:

Mengenai nama Sabilal Muhtadin dipilih sebagai nama Masjid Raya kebanggaan umat muslim Banjarmasin ini ialah sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap ulama besar Kalsel.

“Yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang berperan penting dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam di Kerajaan Banjar atau yang sekarang dikenal dengan Kalsel,” ungkapnya.

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam sejarah Banjar, dituliskan bahwa dia adalah pelopor pengajaran hukum Islam di Kalsel usai 35 tahun menimba ilmu agama Islam di Mekah.

Sekembalinya D ke kampung halaman, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian menjadi sebuah kampung yang ramai sebagai tempat menuntut ilmu agama Islam.

“Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar,” jelasnya.

Di samping mendidik murid-muridnya di surau-surau Dalam Pagar, syekh Muhammad Arsyad Al Banjari juga menulis beberapa kitab dan risalah, salah satu karya besarnya adalah “Kitab Sabilal Muhtadin Littaffaquh fi Amriddin” yang dalam terjemahan bebas berarti jalan bagi orang orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama.

“Kitab tersebut berisi hukum dan kaidah-kaidah ilmu fiqh yang menjadi pegangan dan rujukan bagi masyarakat Kerajaan Banjar pada saat itu dalam mempelajari ilmu fiqih,” ungkapnya.

Hingga saat ini kitab tersebut masih menjadi salah satu sumber rujukan bagi para ulama dan masyarakat dalam mempelajari ilmu fiqih hampir di seluruh Nusantara dan Negara tetangga lainnya.

“Atas dasar pertimbangan tersebut, Masjid Raya Banjarmasin ini diberi nama Sabilal Muhtadin,” jelasnya.

Baca Juga : Amalan Doa pada Jumat Terakhir Bulan Rajab

Baca Juga : Ternyata Awalnya Bukan Untuk Mobil, Simak Sejarah Ditemukannya Lampu Lalu Lintas