Sejarah Kampung Pacinan di Banjarmasin Hingga Berdirinya Dua Klenteng

Potret Klenteng Sutji Nurani pada zaman Hindia Belanda (sumber: Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Sebagian masyarakat mungkin belum banyak yang tahu kalau Kota Banjarmasin pada dulunya pernah berdiri sebuah kampung bernama Pacinan. Kampung dengan ciri khas berakar historis dari masyarakat berkebudayaan Tionghua di banua Banjar.

Diungkapkan, Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, merunut dari catatan Dana Listiana dalam risetnya tentang Kampung Cina di Banjarmasin, menuliskan data paling awal yang menyebut permukiman Cina secara tekstual adalah Laporan Umum tahun 1850.

“Dalam laporan bertitel Algemeen Verslag tersebut dipaparkan bahwa kampung dan pemukiman Cina di Banjarmasin terdiri atas Kampung Ulu dan Kampung Ilir. Dengan ditandai adanya sebuah klenteng di kawasan tersebut,” ungkapnya, Sabtu (21/1/2023).

Klenteng menurut Dana Listiana, merupakan pusat kehidupan masyarakat Cina. Wajar, jika keberadaannya menjadi inti dalam sebuah pemukiman Cina.

Bagi mereka, Klenteng bukan sekadar penghias kampung. Melainkan wujud kosmologi Tiongkok, dengan didirikannya klenteng sebagai usaha menjaga keseimbangan kosmos, antara manusia dan alam.

“Tentunya, pembangunan klenteng ini bermaksud khusus. Ditujukan untuk kepentingan atau kalangan tertentu. Klenteng bernama lain Kiong (Istana) Tong/Ting (bangunan suci berbentuk kecil), Bio/Miao(dalam bahasa hokkian, bangunan kebaktian bagi Khong Cu atau Khong Cu Bio),” jelasnya.

Kemudian, kata Mansyur, Listiana juga berpendapat, Klenteng di Kota Banjarmasin dibangun sebagai klenteng komunitas (community temple) yang terletak di pinggir Sungai Martapura.

Klenteng di Kampung Pacinan ini bernama Sen Sen Kung atau Klenteng Sutji Nurani. Beberapa literatur menuliskan klenteng ini didirikan pada tahun 1898.

Lukisan Kampung Pacinan di Tepisan Sungai Kota Banjarmasin (sumber: Mansyur)

“Dua tokoh yang berperan dalam pendirian klenteng adalah Kapiten Cina, yakni The Sinyoe dan Anglim Thay. Dengan lobinya kepada pemerintah Hindia Belanda, kedua kapiten ini mendapat persetujuan mendirikan tempat ibadah bagi orang-orang Cina di Pacinan,” ungkapnya.

Kelenteng Soetji Noerani menjadi ikon wilayah Pacinan pada era pemerintahan Hindia Belanda di Kota (Geemente) Banjarmasin. Letaknya di persimpangan antara Jalan Pierre Tendean dan Jalan Veteran (Pecinan laut), Kelurahan Kampung Gadang, Kota Banjarmasin saat ini.

Baca Juga Jelang Imlek 2023, Klenteng Bersejarah Po An Kiong Mulai Bersiap

Baca Juga Sejarah Dimulainya Pembangunan Infrastruktur Kota Banjarmasin

Klenteng komunitas berfungsi sebagai penjaga komunitas di tempat tersebut. Sebagai kelompok etnis yang dikenal sangat menghormati leluhur, keberadaan klenteng adalah keharusan.

Karenanya, sebelum permukiman Cina didirikan, sebagaimana tradisi Tiongkok, mereka akan melakukan ritual memohon agar kehidupan di tempat yang baru berjalan dengan baik dan dijauhkan dari segala keburukan.

“Uniknya, untuk menjalankan kegiatan tersebut mereka akan membangun sebuah tempat peribadatan,” imbuhnya.

Klenteng Sen Sen Kung (Sutji nurani) juga dapat dikategorikan klenteng jalan masuk (locality access temple) sekaligus klenteng lingkungan (neigbourhood temple).

“Alasannya, karena berada di ujung jalan masuk sehingga dapat dilihat siapa saja,” ujarnya.

Lebih jauh, kata Masnyur, Kurnia Widiastuti dan Anna Oktaviana (2012) menuliskan, awal berdiri klenteng ini didominasi material kayu. Karena pada masa itu, kayu adalah materual utama bagunan di Banjarmsin.

“Hingga Pada tahun 1925 kelenteng mengalami renovasi. Material kayu diganti dengan beton,” ungkapnya.

Ada pula klenteng yang kemungkinan dibangun berdasarkan kepentingan tertentu berupa kepentingan perniagaan.

“Listiana mengkategorikannya sebagai Klenteng Pasar. Namanya Po An Kiong. Lokasinya berada di belakang Pasar Harum Manis, di tengah-tengah. Tepatnya Pasar Malam Blauran,” tuturnya.

“Kala itu, Posisi Pasar Harum Manis di Jalan Pasar Baru terletak di satu akses jalan dengan pelabuhan,” sambungnya.

Seperti yang dikutip Handinoto, kata Mansyur, posisi tersebut merupakan pola umum yang ditemukan di banyak permukiman selat Asia Tenggara.

Namun, klenteng Po An Kiong juga sempat mengalami musibah kebakaran yang membuatnya harus berpindah tempat.

“Pasca kebakaran sejak 1914 Po An Kiong dipindahkan ke Kompleks Pasar Baru yakni persimpangan antara Jalan Niaga Nomor 45, Banjarmasin,” tuturnya.

Kini klenteng tersebut dinamakan Tempat Ibadat Tri Darma Karta Raharja. Berdasarkan peletakannya, Klenteng Po An Kiong yang baru termasuk dalam kategori klenteng jalan masuk sekaligus klenteng lingkungan.

Lalu kata Mansyur, seperti analisis Salmon dan Lombard dalam riset Listiana, pendirian setiap klenteng memiliki tujuan umum untuk ritual pemujaan, penghormatan, atau bakti terhadap dewa dan leluhur.

“Pendirian klenteng dimaksudkan untuk menjaga lingkungan (manusian dan alam dalam kawasan tersebut) dari datangnya nasib buruk,” tegasnya.

Karenanya, bangunan klenteng di pacinan, berdiri di persimpangan jalan. Secara praktis, posisi klenteng di pertigaan berfungsi menghadang sha yang dibawa dari sumbu jalan di depannya, yang terlihat dari posisi dua buah klenteng tersebut.

Harmonisasi dan dinamika masyarakat Cina di Banjarmasin membuat dua klenteng tersebut berfungsi sebagai klenteng besar.

“Yakni selain menjadi pusat kegiatan komunitas juga menjadi pusat kegiatan peribadatan dan pelindung aktivitas masyarakat Cina di lingkungan tersebut,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi