Pilgub Kalsel Dalam Cengkeraman Oligarki

Kadarisman
Kadarisman
Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Sosial Politik Banua)
Demokrasi yang terejawantah dalam pilkada hanyalah “hardware” dari instrumen implentasi kedaulatan rakyat. Sistem politik yang mengatur bagaimana kedaulatan itu diimplementasikan tak boleh berhenti di tataran dari membicarakan demokrasi semata. Ia harus pula menyentuh sisi “software” yang substantif membangunkan dan mengedukasi kesadaran pemilih sehingga dapat menentukan nasib bangsanya secara cerdas atas landasan awarness serta mandiri dari pengaruh popularitas dan sumber kekuasaan yang yang tidak relevan dengan kapasitas mewujudkan kebaikan dari kekuasaan politik.
Jika ditarik lebih jauh kepada jejak filsafatnya, bahwa politik haruslah berwujud dalam menciptakan the good life. Menciptakan kebaikan atas pemilik kedaulatan di semua bidang kehidupan masyarakat adalah muara dari proses politik yang diidam-idamkan. Jika indikator-indikator harapan bertolak belakang dengan kenyataan, mestinya negara dapat membuat sistem yang memberikan peluang alternatif yang lebih sederhana dalam hak rakyat memilih yang terbaik.
Hak-hak rakyat dalam membuat pilihan ini yang belum terjamin oleh sistem politik dan bernegara saat ini. Tidak mudah memang untuk menciptakan hal sedemikian, karena kuatnya pengaruh partai politik menyetir kekuasaan untuk berpihak dalam penciptaan kekuasaan yang oligarki.
Profesor Jefrey Winters, Nortwetern University membeberkan bahwa demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kelompok oligarki, akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Keadaan tersebut adalah wajah sistem pemerintahan dan demokrasi di Indonesia, tak terkecuali di Kalimantan Selatan, Banua kita sendiri.
Oligarki sendiri dapat dimaknai sebagai kepunyaan suatu atas dasar kekuasaan serta kekayaan material yang potensial tumbuh subur dalam sistem politik sekarang ini. Walaupun ia adalah kelompok minoritas tetapi mempunyai jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik. Keadaan inilah yang membuat bangsa kita sulit untuk lepas diri dari cengkeraman politik oligarki.
Kalimantan Selatan, salah satu provinsi yang pada 9 Desember 2020 nanti turut ambil bagian menggelar kontestasi pemilihan gubernur untuk periode kekuasaan selanjutnya. Pun demikian, rakyatnya “dipaksa” untuk menentukan pilihan dari ketidak mampuannya membuat keputusan secara cerdas. Hal lain mereka disodorkan pilihan yang sangat minim: minim kontestannya dan minim aksesnya untuk menjajal kualitas calon yang akan diberikan mandat.
Negara memang belum berpihak pada memenangkan pilihan rakyat. Dominasi partai politik yang memiliki akses kekuasaan betul-betul menyandera rakyat untuk menyodorkan pilihan pilihan yang layak. Jika kemudian nanti pada Pilgub Kalsel 2020, rakyat Kalsel mendapatkan menu pilihan politik yang sangat minimalis, ya itulah kenyataan yang harus disikapi dengan kritis dan hati yang bijak.
Karena itu penting untuk kemudian menjadikan tuan dari diri sendiri dalam menentukan pilihan. Menjadi pemilih yang merdeka dari pengaruh politik pencitraan dan uang adalah ikhtiar politik yang bertanggung jawab atas kebaikan bersama. Di sinilah esensi politik, bahwa tanggung jawab yang tak kalah besar ada di pundak pemilih itu sendiri.
Amanah Cacat Syariat
Problema kekinian pilkada kita adalah berkelindannya politik uang. Hal ini terjadi karena memang sebagai sebuah entitas masyarakat politik yang ada di Banua masih memandang permisif praktik kotor itu.
Para elit memang lihai memainkan keadaan dan strategi approach. Berdasarkan fakta-fakta di setiap pemilu, kasus politik uang adalah fenomena gunung es yang membutuhkan effort simultan untuk memperbaikinya.
Ada tipu muslihat yang berbungkus nilai moral dalam mempengaruhi pilihan rakyat dengan kekuatan uang. Misalnya, menjebak pemilih dalam nilai amanah. Seseorang dititipkan sejumlah uang dengan harapan dapat memilih figur tertentu. Seseorang berkeyakinan tidak ada urusan dengan pilih memilih, namun yang jadi urusannya bagaimana amanah yang dititipkan padanya dapat diwujudkan.
Sejauh itu praktik dan pendekatan politik uang menyesatkan sekaligus memplesitkan nilai-nilai moral. Dalam konteks sedemikian rupa, maka amanah telah cacat hukum, cacat syariat, sehingga tak wajib lagi untuk dilaksanakan. Setiap pilihan politik yang tidak didasarkan pada pilihan terbaik hatinya, melainkan dipengaruhi oleh iming-iming material atau kekuasaan adalah menjadi bagian praktik suap dan terlarang.
Hati nurani rakyat adalah benteng terakhir yang dapat diandalkan untuk memperbaiki keadaan bangsa dan kepentingan bersama. Selama hati tidak tersandera, maka siapapun pilihannya itu adalah ikhtiar politik terbaik yang sudah dikontribusikan. Dan semuanya itu tetap akan dimintakan pertanggung jawaban di hadapan Tuhan. Sekalipun Pilkada Kalsel dicengkeram oligarki, sebuah hati selalu punya cara dalam bersikap dan menentukan keputusannya.*

Tinggalkan Balasan