Perkap Nomor 6 Tahun 2019 Memungkinkan Penyidik Menggunakan Restoratif Justice

Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin, AKP Ade Papa Rihi. (Ist)

BANJARMASIN, klikkalsel – Ada yang menarik dari Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana pengganti Perkap lama Nomor 14 Tahun 2012.

Dalam perkap ini beberapa kasus tindak pidana tidak harus pada proses sampai proses persidangan. Tetapi bisa dilakukan penyelesaian dengan cara restoratif keadilan

Artinya, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan, hal tersebut tercantum dalam pasal Pasal 12 Perkap tersebut.

Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin, AKP Ade Papa Rihi saat dihubungi klikkalsel.com, Selasa (5/11/2019) mengatakan hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai syarat.

“Ada beberapa syarat materiel dan formil. Salah satunya tidak menimbulkan keresahan di masyarakat,” jelasnya.

Ia pun mengumpamakan, saat proses penyidikan sebuah kasus telah berjalan dan akhirnya pihak pelaku serta pihak korban bersepakat untuk mencari solusi diluar pengadilan maka dalam hal ini penyidik dapat menggunakan restoratif justice dalam penyelesaiannya.

“Para-pihak terkait biasanya akan menarik keterangan yang telah diberikan. Dengan dasar kurangnya bukti maka akan diterbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3),” tuturnya.

Ia berharap dengan terbitnya Perkap baru ini maka kepolisian dapat mengakomodir perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam penyidikan tindak pidana. (david)

Editor : Akhmad

Bunyi Pasal 12 Perkap Nomor 6 tahun 2019.

Dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif,
apabila terpenuhi syarat:
a. materiel, meliputi:
1. tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau
tidak ada penolakan masyarakat;
2. tidak berdampak konflik sosial;
3. adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat
untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak
menuntutnya di hadapan hukum;
4. prinsip pembatas:
a) pada pelaku:
1) tingkat kesalahan pelaku relatif tidak
berat, yakni kesalahan dalam bentuk
kesengajaan; dan
2) pelaku bukan residivis;
b) pada tindak pidana dalam proses:
1) penyelidikan; dan
2) penyidikan, sebelum SPDP dikirim
ke Penuntut Umum;

b. formil, meliputi:
1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak
(pelapor dan terlapor);
2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan
penyelesaian perselisihan para pihak yang
berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor,
terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan
dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan

Tinggalkan Balasan