Menyusuri Jejak Sejarah Langgar Al Hinduan Hingga Perkembangan NU Cabang Banjarmasin

Langgar Al Hinduan di Kawasan Siring Piere Tendean (Internet)

Akan tetapi diadakan di sebuah rumah bertingkat dua di tepian sungai Martapura, persisnya di samping
kiri Langgar Al Hinduan yang sekarang Jalan Piere Tendean.

Masyarakat dahulu sering menyebutnya rumah bertingkat di Jalan Sungai Mesa. Rumah bertingkat dua di samping langgar Al Hinduan tersebut lah yang di dalam Berita Nahdlatoel Oelama, disebut “Gedung Congres” Sungai Messa.

Utusan muktamar, terutama yang berasal dari luar Kalimantan, ditempatkan di rumah Haji Gusti Umar yang pada waktu itu berfungsi sebagai kantor NU cabang Banjarmasin.

“Rumah yang dijadikan area kongres tersebut menurut Makmur (1999) adalah rumah Haji Saal. Tidak dijelaskan secara pasti nama lengkap tokoh pemilik rumah. Diduga Saal adalah singkatan dari nama dari tokoh pendiri NU Banjarmasin yaitu Said Ali Alkaf,” imbuhnya.

Pasalnya, Said Ali al Kaff pada tahun 1936 adalah pimpinan NU Banjarmasin. Hal ini diperkuat fakta lainnya bahwa setelah muktamar, Kantor NU Cabang Banjarmasin yang semula di rumah Haji Gusti Umar di Sungai mesa, kemudian dipindahkan ke rumah Haji Saal di samping Langgar Al Hinduan.

“NU berkantor di sana sampai awal kepemimpinan M. Arthum Husein tahun 1957,” sebutnya.

Kemudian, kata Mansyur ke media ini, berdasarkan Ahkamul Fuqaha nomor 192 Keputusan Muktamar NU Ke-11 di Banjarmasin, menghasilkan keputusan pendapat NU bahwa Indonesia ketika masih dijajah Belanda adalah dar al-islam.

“Kata dar al-islam di situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam,” jelasnya.

Baca Juga : 1 Abad NU, Ibnu Sina Ingatkan Sejarah Muktamar ke 11 NU di Banjarmasin

Baca Juga : Kisah Makam Habib Hasyim Al Kaff Sungai Awang yang Sempat Dipindah, Ajaibnya Makam Kembali Ketempat Semula

Lebih lanjut, Dosen Sejarah ULM Banjarmasin ini juga menjelaskan dari dara tulisan Masyhuri pada tahun 1997 mengungkapkan Darul Islam oleh NU ketika menggambarkan wilayah Nusantara sebelum dan saat dalam penjajahan Belanda bukanlah Daulah Islamiyah atau Negara Islam dimana kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Islam, yang menegaskan keterkaitan NU dengan Nusabangsa.

“Dalam Muktamar ke-11 itu muncul pertanyaan “Apakah nama negara kita menurut syara‟ agama Islam?”, Lalu Keputusan Muktamar menyatakan: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap selamanya.” Argumen fiqhnya diambilkan dari Kitab Bughyatul Mustarsyidin, pada Bab Hudnah wal Imamah,” jelas Mansyur.

“Pada kemudian hari menjadi suatu keputusan yang kelak menjadi landasan para ulama mencetuskan resolusi jihad menghadapi Belanda dan sekutunya yang hendak menjajah kembali Indonesia pada 1945-1949,” sambungnya.

Hasil dari pembahasan ini adalah adanya tekanan-tekanan dari politik kolonial Belanda membuat NU yang pada awalnya menitikberatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan perekonomian ikut ambil bagian dalam menentang penjajahan.

Diawali dari Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1936. NU kemudian bersikap kooperatif terhadap pemerintah Belanda dengan adanya penolakan terhadap kebijakan, menentang ordonansi-ordonansi.

“Muktamar itu juga menghasilkan beberapa keputusan diantaranya yang terpenting adalah penyampaian Mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda yang berisi penolakan dan permintaan pembatalan peraturan Kawin Bercatat (Houwelijke Ordonnantie),” ujarnya.

Selanjutnya, selain masalah agama, keputusan yang juga diambil ialah yang menyangkut masalah sosial dan pendirian cabang baru pasca Muktamar itu antara lain NU di Kelua, Alabio, dan di Ampah.

Menurut, Catatan Founder Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro kata Mansyur, menuliskan bahwa penutupan Muktamar tersebut tidak dilakukan di Banjarmasin. Akan tetapi digelar di Martapura. Sebuah kota yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Banjarmasin.

“Hal tersebut sebagaimana ditulis Abu Bakar Atjeh dalam biografi KH. Wahid Hasyim, bahwa semua peserta muktamar diangkut perahu menyisir sungai di depan Langgar Al-Hinduan tersebut, menuju ke lokasi penutupan di wilayah Kota Serambi Mekkah,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi