Dengan dasar kebutuhan listrik, ANIEM mendapat konsesi di Banjarmasin, 26 Agustus 1921. Mendapat kontrak hingga 31 Desember 1960. Berikutnya tahun 1937, ANIEM sudah masuk ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan.
Dengan keberadaan cabang ANIEM di Banjarmasin, masa industrialisasi berkembang. Listrik mulai mengubah kebiasaan hidup kota Banjarmasin. Dari dulu yang gelap gulita kala malam, menjadi terang. Suasana kota pun lebih semarak.
Data sejarah yang berhubungan dengan perkembangan, bangunan hingga peninggalan perusahaan Aniem di Banjarmasin sangat minim data. Perusahaan ini dibumihanguskan ketika awal masuknya tentara pendudukan Jepang tahun 1942 oleh pasukan AVC (Algemene Vernielings Corps) atau Korp Untuk Penghancuran yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda.
Tugas mereka adalah merusak dan menghancurkan segala jalan yang kemungkinan dilalui tentara Jepang menuju ke Banjarmasin, seperti lapangan terbang, jembatan-jembatan, jalanan yang dikelilingi rawa.
“Dari cerita lisan yang berkembang di masyarakat, ada yang menghubungkan jejak keberadaan Perusahaan Listrik Aniem dengan nama salah satu jalan di Kota Banjarmasin. Jalan Simpang Anem,” ungkapnya.
Berasal dari nama ANIEM inilah, kata Mansyur yang kemudian berubah penyebutnya menjadi ANEM.
Belum ada riset tentang toponim ini, apakah nama Simpang ANEM karena lokasi perusahaan pembangkit listrik ini ada di lokasi Simpang ANEM sekarang. Atau malah tidak ada hubungannya sama sekali.
“Tetapi terlepas dari kemiripan nama jalan tersebut, kasus masuknya listrik di Banjarmasin adalah sisi menarik untuk diketahui. Masih terlihat secara samar keping keping sejarah walaupun nuansanya seakan sejarah yang terputus,” imbuhnya.
Lalu dari manakah Aliran atau Daya Listrik di Kota Banjarmasin pada era kolonial tersebut?
Mansyur mengatakan, daya listrik itu berasal dari hasil pemutaran turbin di sungai yang kemudian menghasilkan daya listrik rata – rata 30kV. Tegangan listrik ini kemudian didistribusikan melalui jaringan transmisi saluran tegangan tinggi (SUTET) yang berakhir di gardu induk.
Dari gardu induk inilah, listrik baru disalurkan melalui gardu ke gardu listrik transformator (transformatorhuis) yang masih dapat ditemukan di sudut – sudut kota.
“Gardu listrik transformator ini memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari 3×3, 4×3, dan 5×6 meter serta mampu menyimpan tegangan listrik sebesar 6 kV. Setelah dari gardu listrik transformator inilah, listrik bertegangan 110V (sekarang listrik di Indonesia bertegangan 220V) disebarkan kepada para pelanggan ANIEM,” jelasnya.
“Diprediksi di dalam Kota Banjarmasin masih ada bekas transformatorhuis yang masih berdiri. Sebagian transformatorhuis sudah dirobohkan dan juga sudah tidak bisa ditemukan lagi,” sambun Mansyur.
Sebelum masuknya listrik di Banjarmasin dibawah tahun 1921, Mansyur menceritakan, bahwa lampu – lampu penerang warga kota hanya menggunakan lampu teplok.
Baik kaya maupun miskin, baik rumah kayu ataupun bertembok batu, aroma minyak sebagai bahan bakar lampu pasti tercium dari rumah – rumah mereka.
“Jalanan waktu itu gelap gulita karena penerangan jalan belum tersedia.
Pada malam hari, hanya lampu – lampu dari sepeda para pedagang saja yang sesekali memberikan penerangan. Keadaan mulai membaik ketika listrik tenaga diesel masuk untuk pertama kali,” ceritanya.
Dari beberapa perbandingan, tegangan untuk pelanggan ANIEM yang pertama kali dulu dapatkan hanyalah sebesar 60 watt, dan hanya mampu untuk menyalakan satu bohlam lampu.
“Listrik waktu itu pun masih tidak stabil,” terangnya.
Lebih lanjut, cerita Mansyur keadaan mulai membaik setelah tahun 1921. kota – kota yang berada dibawah naungan ANIEM mendapatkan fasilitas penerangan jalan dari perusahaan ini.
“Bisa dibayangkan pada zaman kolonial dulu untuk pertama kalinya, lampu – lampu minyak dan gas mulai tergantikan dengan terangnya bohlam lampu mercury yang lebih terang sinarnya. Terlihat lampu penerangan jalan di depan gedung Societet de Kapael Banjarmasin. Lampu – lampu inilah yang membuat jalanan di kota menjadi bercahaya,” ujarnya.
Meskipun hanya segelintir orang yang mampu untuk berlangganan listrik ANIEM pada waktu dulu, kata Mansyur tidak semua pasokan listrik menjadi lancar sepanjang waktu.
“Hal itu dikarenakan sumber utama listrik NV ANIEM berasal dari debit air, maka jika terjadi kemarau panjang para pelanggan ANIEM harus merasakan “byar-pet” nya listrik di rumah mereka atau bahkan harus rela bergantian menikmati fasilitas listrik,” tuturnya.
Akan tetapi, jelas Mansyur pelanggan dari NV ANIEM terus meningkat baik dari rumah tangga maupun industri.
“Bahkan pada awal pecah perang dunia kedua, ANIEM pernah menurunkan tarif dasar listrik mereka sebesar 5 persen untuk meringankan beban pelanggan,” paparnya.