BANJARBARU, klikkalsel.com — Rencana pemerintah mengusulkan 119.779 hektar Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan menjadi Taman Nasional menuai penolakan keras dari masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan.
Penolakan ini disampaikan dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan, yang tergabung dalam Aliansi Meratus pada salah satu Caffe di Kota Banjarbaru.
permasalahannya, masyarakat adat mengaku khawatir penetapan ini akan merampas ruang hidup mereka, membatasi akses terhadap sumber daya alam, dan mengabaikan sistem pengelolaan hutan lestari yang telah berjalan turun-temurun.
Perwakilan Masyarakat Adat Meratus, Anang Suriani, mengungkapkan kekhawatirannya jika wilayah adat mereka dijadikan taman nasional. Ia menekankan bahwa hutan adalah sumber kehidupan utama bagi mereka, tempat untuk mencari obat-obatan dan sumber ekonomi.
“Jika wilayah adat kami dijadikan sebagai taman nasional, kemana lagi kami akan pergi dan bagaimana kehidupan masa depan kami. Penetapan taman nasional juga akan menghilangkan budaya dan kearifan lokal dalam behuma,” kata Anang.
Behuma, atau bertanam padi, adalah bagian penting dari budaya mereka. Hasilnya digunakan untuk upacara adat aru. “Jika Masyarakat Adat tidak menanam padi, sama artinya kami tidak melakukan aru. Kami beraru dari hasil behuma,” tambahnya.
selain itu, WALHI Kalimantan Selatan menduga kuat bahwa penetapan Taman Nasional ini tidak lepas dari kepentingan bisnis di Pegunungan Meratus. Selama ini, kawasan tersebut telah dieksploitasi oleh bisnis ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit.
”Selama ini pegunungan Meratus telah dieksploitasi dengan berbagai bisnis ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur sawit, daya rusaknya nyata terhadap ekosistem pegunungan Meratus dan telah menyingkirkan Masyarakat Adat dari ruang hidupnya,” jelas Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan, Raden Rafiq.
Baca Juga : Pesona Kawasan Geopark Meratus Bikin Kagum Peserta Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia
Baca Juga : Tengok Isu Save Meratus, Tim Peneliti Kaji Ekonomi Hijau di HST
Ia khawatir penetapan Taman Nasional akan semakin memperkuat penyingkiran tersebut.
Diwaktu yang sama, Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Kalsel, Rubi, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya mengakui dan melindungi upaya konservasi yang telah dilakukan masyarakat adat selama ratusan tahun.
”Mestinya konservasi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat tersebut harus diakui dan dilindungi oleh pemerintah, sebab konservasi ala masyarakat adat tersebut telah terbukti menjaga kelestarian lingkungan dan pegunungan Meratus,” ujarnya.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, melihat usulan Taman Nasional ini sebagai cerminan paradigma usang yang menganggap masyarakat sebagai ancaman.
”Paradigma inilah yang menjadi paradigma utama UU Kehutanan saat ini, yang telah terbukti menciptakan berbagai konflik tenurial yang tidak pernah selesai hingga saat ini,” kata Uli.
Dalam diskusi publum yang berlangsung di salah satu Caffe di Kota Banjarbaru ini melahirkan Resolusi Meratus gabg memuat pernyataan sikap sebagai berikut:
Menolak rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus.
Mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan untuk menarik kembali pengajuan usulan.
Mendesak Kementerian Kehutanan untuk menghentikan seluruh proses penetapan.
Mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk segera mengimplementasikan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Selain itu, Aliansi Meratus juga mengusulkan agar Presiden dan DPR, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat pada sidang tahun 2025, melakukan revisi total Undang-Undang Kehutanan, mencabut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Mada)
Editor: Abadi





