BANJARMASIN, klikkalsel.com – Belum lama ini warga Kota Banjarmasin dihebohkan dengan adanya penemuan benda bersejarah hasil dari galian pemugaran Langgar Al Hinduan di kawasan siring piere tendean, Kecamatan Banjarmasin Tengah.
Dijelaskan Mansyur, seorang Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), yang juga mendapat gelar sebagai Cendekia dari Kesultanan Banjar, bahwa tempat ibadah berlantai dua dengan luas sekitar 150 meter persegi dan berdiri mentereng di pinggir jalan, menghadap ke Sungai Martapura tersebut memang memiliki sejarah panjang.
“Langgar dengan dominasi cat warna hijau dan putih bertuliskan sebuah nama dalam aksara Arab Langgar Al-Hinduan itu beberapa sisi bangunan mengalami perbaikan tetapi tidak menghilangkan ciri khas lewat arsitekturnya dan memiliki nilai historis,” kata Mansyur, Selasa (22/8/2023).
“Yaitu tentang sejarah perjalanan Organisasi Nahdatul Ulama (NU) bangsa Indonesia,” sambungnya.
Lebih dari satu abad, tepatnya sekitar 106 tahun sejak dibangun tahun 1915. Dari beberapa sumber, langgar ini didirikan Habib Salim bin Abubakar al-Kaff atas tanah wakaf istrinya, Syarifah Salmah Al-Hinduan.
“Dari marga istrinya itulah akhirnya diabadikan menjadi nama tempat ibadah,” ungkapnya.
Dari sumber yang diterima, kata Mansyur, pengurus sekaligus Imam Langgar Al Hinduan yang saat itu dijabat oleh Abdurrahman mengatakan, jika bangunan langgar tersebut awalnya berbentuk rumah. Sebelum akhirnya diubah menjadi langgar.
Dimana rumah tersebut mulanya milik Syarifah Salmah Al Hinduan yang kemudian diberi nama Langgar Al Hinduan, usai dihibahkan sebagai tempat ibadah bersama suaminya Habib Alwi sebelum memilih hijrah ke Mekkah.
“Hingga saat ini tidak ada sanak saudara Syarifah Salmah disana, hingga beliau memilih pindah ke Mekkah dan rumah itu digunakan Masyarakat sebagai tempat ibadah,” jelasnya.
Menurut Mansyur, gelar Al-Hinduan pertama kali disematkan dari Waliyyullah Umar bin Ahmad
bin Hasan bin Ali bin Muhammad Mauladdawilah. Terinspirasi dari badan dan Iman beliau yang sungguh sangat kuat sekali bagaikan pedang tajam terbuat dari besi baja berasal dari India.
“Pedang yang terbuat dari besi baja asal India itu dalam bahasa Arab disebut “Hinduan”. Keturunan beliau menyebar di Nusantara melalui Nasab Alawiyyin,” tuturnya.
Kemudian, kata Mansyur, Langgar yang juga mendapat sebutan Langgar Batu ini juga menjadi saksi bisu perkembangan Nahdlatul Ulama cabang Banjarmasin pada tahun 1931.
Diketuai H. Gusti Umar, dengan dibantu oleh Said Ali Alkaf, H. Achmad Nawawi, dan H. Hasyim yang berkantor tidak jauh dari langgar Al Hinduan yakni di Jalan Sungai Mesa, Kota Banjarmasin.
Tokoh Said Ali Alkaf dari Banjarmasin menjadi satu diantara tokoh sentral sebelum berdiri di Banjarmasin NU didirikan H. Abdul Qadir Hasan bersama-sama dengan Habib Alwi AlKaf, Habib Hamid Hasria yang keduanya dari Banjarmasin dan lainnya mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Martapura pada tahun 1927.
“Iqbal (2021) mengemukakan sejak dibentuknya cabang Banjarmasin untuk mengembangkan organisasi ini lebih maju, para elite NU tidak henti- hentinya melakukan safari “politik” untuk mendirikan cabang di seluruh Kalimantan Selatan,” cerita Mansyur.
Hingga lima tahun setelah berdirinya cabang NU Banjarmasin pada tahun 1931 atau delapan tahun setelah berdirinya NU yang pertama kali di Kalimantan Selatan pada 1927.
Baca Juga : Museum Kayuh Baimbai Diharapkan Bisa Menjadi Saksi Sejarah 5 Abad Kota Banjarmasin
Baca Juga : Sejarah Kampung Pacinan di Banjarmasin Hingga Berdirinya Dua Klenteng
Barulah digelar Muktamar NU ke-11 di Kota Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H atau 9 Juni 1936 M, dengan susunan kepanitiaan terdiri dari Mansyur Amin sebagai Ketua, Bachtiar sebagai Sekretaris, Said Abdurrahman sebagai Sekretaris I merangkap Bendahara, Jampirus Sekretaris II dan Arthun Arta Bagian Upacara.
“Pada versi lain, tanggal 9 Juni adalah puncak Muktamar, secara keseluruhan. Muktamar ini dilaksanakan lima hari yakni mulai tanggal 8 sampai 13 Juni 1936,” tuturnya.
“Terdapat juga sumber yang tmenuliskan pelaksanaan muktamar adalah 9-11 Juni 1936. Terlepas dari perbedaan tersebut, hal ini adalah kebanggaan bagi warga Kota Banjarmasin, khususnya NU. Pasalnya sebelumnya, sejak NU berdiri dan diadakan muktamar 1 sampai muktamar 10 selalu digelar di Jawa. Terjadi hal berbeda dengan Muktamar ke 11, baru pertama kalinya di luar jawa (Banjarmasin),” sambungnya.
Lebih lanjut kata Mansyur, muktamar kala itu juga diikuti oleh utusan-utusan NU dari luar Kalimantan dan pimpinan majelis konsul dan beberapa cabang atau majelis wakil cabang ranting NU wilayah Kalimantan sendiri.
Utusan muktamar, terutama yang berasal dari luar Kalimantan, ditempatkan di rumah Haji Gusti Umar (di Sungai Mesa) yang pada waktu itu berfungsi sebagai kantor NU cabang Banjarmasin.
“Dari beberapa sumber yang saya dapatkan juga beredar di media online bahwa Muktamar (Congres) ini diadakan di bangunan Langgar Al Hinduan atau buka di bangu an langgarnya,” ungkap Mansyur lagi.
Baca Selengkapnya di halaman selanjutnya……..