BANJARMASIN, klikkalsel.com – Sekitar tahun 1900-an pada masa kolonial Belanda di Banjarmasin terdapat sebuah gedung yang menjadi lokasi pesta atau hiburan masyarakat kulit putih.
Dijelaskan Ketua LKS2B Kalimantan Mansyur, gedung itu bernama Societiet de Kapel letaknya tepat di kawasan Hutan Kota Banjarmasin Jalan Lambung Mangkurat, Kelurahan Kertak Baru Ulu, Kecamatan Banjarmasin Tengah.
“Lokasi itu sekarang ini berubah menjadi cafe. Berseberangan dengan Gedung KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) atau eks Balai Pemuda Kalimantan Selatan,” ujarnya, Minggu (17/7/2022).
Dalam catatan Historisnya, Gedung Kapel adalah tempat terlarang yang disebut sebagai tempat berkumpulnya setan. Karena itu orang Banjar tidak boleh mengunjunginya.
“Itu petuah alim ulama Islam di Banjarmasin pada dekade awal tahun 1900-an,”
Karena itulah, kata Mansyur penduduk pribumi mulai rakyat jelata hingga pejabat Kota, jarang sekali yang mengunjungi tempat bernama lengkap Societiet de Kapel itu. Bahkan terkesan menghindarinya.
“Menurut Idwar Saleh (1981), pada masa Hindia Belanda, Gedung Societiet de Kapel terletak di bagian depan antara Boomstraat dan Jalan Pasar Sore. Sementara pada wilayah Boomstraat didirikan rumah Belanda, Europees Lagere School dan Kantin serdadu,” ungkapnya.
Sejak berdiri pada tahun 1898, gedung itu sempat menjadi salah satu ikon Kota Banjarmasin. Gedung itu awalnya dibangun dengan arsitektur tradisional Banjar.
Namun, sekitar tahun 1920 an direnovasi dengan bangunan bergaya Nieuwe Zakelijkheid (Objektivitas Baru) yang mulai populer di Hindia Belanda.
“Bentuknya jauh lebih sederhana dan minimalis dibandingkan dengan gaya sebelumnya,” ujarnya.
Gaya itu menyertakan bentuk dan desain sudut tanpa dekorasi. Gaya ini merupakan bukti peralihan awal menuju gaya internasional.
“Belum didapatkan data memadai siapa arsitek yang membangun maupun merenovasi Gedung Societeit De Kapel, Banjarmasin,” imbuhnya.
Keberadaan gedung Kapel atau Societeit De Kapel, pada akhir abad ke-19, tidak terlepas dari posisi Banjarmasin sebagai kota besar yang terbuka bagi kontak budaya asing.
Mulai dari perayaan tahun baru dan bahasa Belanda, kata Mansyur dipakai sebagai bahasa pesta dan keseharian bagi kaum terpelajar dan golongan atas, juga nampak dari adanya gereja katolik, gereja protestan, bank-bank, perusahaan dagang orang-orang Barat.
Perkumpulan-perkumpulan ini berupa perkumpulan sosial, meniru perkumpulan orang Belanda.
“Menurut Idwar Saleh (1981), pengaruh budaya asing terlihat dengan adanya gedung Societeit de Kapel yang merupakan, sebuah rumah bola untuk main billiard, dansa, minum, ramah tamah masyarakat kulit putih,” ceritanya.
Karena itu, wajar apabila gedung Kapel menjadi tempat terlarang. Orang pribumi yang beragama Islam, tidak menyukai tempat ini karena berbau maksiat.
Lebih lanjut, kata Mansyur pada sisi lain gedung ini adalah simbol modernitas ala Hindia Belanda. Bahkan Sociteit de Kapel Belanda ini dulu adalah tempat yang paling indah dalam kota Banjarmasin.
Pembangunan Societeit de Kapel sebagai tempat hiburan (minum dan dansa) orang Eropa, dan budaya-budaya Barat lainnya yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
“Secara tidak langsung kondisi demikian turut mempengaruhi munculnya seni budaya yang dipengaruhi oleh budaya Barat, di samping kesenian tradisi yang tetap kuat berakar di masyarakat,” terangnya.
Baca Juga : Sejarah Stadion 17 Mei, Dibangun di Atas Tanah Lapang Bekas Sungai
Baca Juga : Jejak Sejarah Perusahaan Listrik Pertama di Zaman Hindia Belanda
“Dalam catatan keluarga besar Kroesen, gedung ini pernah dijadikan pesta perpisahan Residen Kroesen yang pensiun menjadi presiden di Banjarmasin tahun 1898,” sambungnya.
Kemudian, Mansur juga mengungkapkan, dalam sumber foto berjudul Societeit De Kapel, Bandjermasin karya G.M. Versteeg, antara tahun 1905-1940, menggambarkan bagaimana kondisi gedung Kapel.
Demikian halnya dalam sebuah kartu pos gambar hitam dan putih. Objeknya adalah Banjarmasin, dengan pemandangan Societeit De Kapel yang indah.
“Kartu pos ini diterbitkan oleh Studio Hashimoto, Bandjermasin pada tahun 1920an. Kartu pos ini dijual seharga $ 3,00 di situs e-bay tahun 2017-an,” ungkapnya.
Hingga saat ini, tempat itu kata Mansyur dikelan menjadi pusat hiburan para meneer (tuan) dan mevrouw (nyonya) besar bangsa Belanda. Mereka berpesta dansa di tengah kehidupan malam Kota Banjarmasin kala itu.
Gedung itu diketahui berkonsep kamar bola, seperti meja biliar. Di dalamnya juga banyak ruangan-ruangan yang menjadi tempat hiburan malam. Ada juga ruangan dansa.
Selain itu, societeit ternyata bukan hanya sekadar tempat hura-hura malam atau istilah sekarang, dugem belaka. Akan tetapi, berubah fungsinya menjadi tempat berkumpul orang Belanda yang mempunyai paham rasialisme.
Bahkan klub orang-orang Belanda membuat peraturan, gedung ini dipakai klub orang kulit putih.
“Itu pada saat pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa, rakyat pribumi dilarang menginjakkan kaki di tempat itu. Kalaupun ada rakyat pribumi di sana, sebagian besar dari mereka adalah petinggi negara yang memiliki pengaruh dan jabatan, selebihnya hanya sebagai pelayan,” tuturnya.
Menurut Mansyur, pengaruh budaya asing tidak terlepas dari langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di daerah dalam berbagai segi kehidupan seperti sistem pemerintahan, sistem perkotaan, sistem pendidikan, sistem teknologi transportasi dan komunikasi, sistem ekonomi keuangan dan lain-lain.
Semua langkah-langkah itu, dinilai telah memungkinkan daerah ini menyerap dan mengadaptasi nilai-nilai dan budaya modern versi permulaan abad ke 20.
Seperti munculnya kelompok penguasa dan pengusaha swasta di perkotaan, menyebabkan timbulnya keinginan untuk memenuhi fasilitas hidup yang lebih baik.
“Dalam perkembangannya, Gedung Societeit De Kapel, setelah masa ekspansi Jepang tahun 1942-1945, masih dijadikan tempat hiburan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pada tanggal 3 Juli 1948, anggota organisasi Dewan Banjar yang telah dipilih dan diangkat serta dilantik oleh Residen bertempat di Societeit de Kapel.
Selanjutnya, dijadikan Kantor Penerangan Korem 101/Antasari dan Gedung RRI di jalan Lambung Mangkurat, pada masa kemerdekaan.
“Terakhir sejak awal tahun 2000 an gedung ini dirobohkan dan dijadikan Hutan Kota Banjarmasin oleh Pemerintah Kota Banjarmasin era itu,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi