JAKARTA, klikkalsel.com – Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) memberikan kepastian hukum serta kejelasan tugas dan tanggung jawab dari pekerja, pemberi kerja serta penyalur tenaga kerja. RUU PPRT ini diusulkan lantaran banyaknya kasus yang abai terhadap hak-hak pekerja rumah tangga.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Haiyani Rumondang, mengatakan, pihaknya melihat Undang-undang (UU) No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan belum bisa melindungi para pekerja sektor domestik.
Sehingga kemudian menerbitkan Peraturan Menteri No.2/2015. Sekali pun hal itu juga dinilai belum cukup.
“Perlu ada regulasi baru setingkat undang-undang agar bisa melindungi para pekerja di sektor rumah tangga dan saat ini sudah menjadi prioritas legislasi nasional untuk 2023,” ujarnya dalam dialog Forum Medan Merdeka Barat 9 bertajuk “Pentingnya RUU PPRT Disahkan”, Senin (30/1/2023).
Selama ini, dia melanjutkan, tidak ada perlindungan terhadap hak-hak yang mendasar bagi PRT. Seperti kepastian upah, perlindungan sosial, perlindungan atas keamanan dan kenyamanan dalam bekerja. Baik itu sisi kesehatan dan keselamatan dan perlindungan mendapatkan hak cuti.
Hal-hal inilah, sambungnya, yang didorong agar bisa dicantumkan dalam draft RUU tersebut. Pekerja domestik akan mendapatkan hak-hak yang mereka butuhkan untuk mendapatkan hidup yang layak. Nantinya, kata dia, Kemenaker memiliki kewajiban untuk menyosialisasikan dan memberikan informasi hal-hal yang diatur dalam regulasi tersebut kepada para PRT.
“Sementara itu, regulasi ini juga memberikan jaminan kepastian bagi pengguna jasa mengenai informasi identitas yang jelas dari pekerja. Selain itu, pengguna jasa juga bisa konsultasi ke instansi terkait untuk bisa mendapatkan informasi serta pengaduan beserta format kontrak kerjanya akan seperti apa,” terangnya.
Baca Juga : Haul Guru Sekumpul Berjalan Lancar, Kapolres Banjar: Estimasi 1 Juta Jemaah Datang
Baca Juga : Satpol PP Amankan Belasan Gepeng dan Pekerja Tuna Susila
Adapun dari sisi penyalur tenaga kerja, kata dia, UU tersebut nantinya akan mengatur tentang peningkatan kapasitas dan kompetensi dari para pekerja sebelum disalurkan. Hal tersebut dilakukan agar bisa memenuhi standar pelayanan yang diharapkan oleh pemberi kerja.
Sementara itu, Ratna Susianawati, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengatakan, jika melihat data dan fakta tindak kekerasan terhadap perempuan pekerja rumah tangga, maka keberadaan regulasi yang lebih tinggi dari peraturan menteri, mutlak diperlukan.
Menurutnya, esensi utama RUU ini adalah pengakuan dan perlindungan kepada pekerja dan pemberi kerja serta penyalur.
“Tentunya juga pastikan hak-hak dan perlindungan, karena kerentanan pekerja perempuan jadi satu dimensi yang harus jadi perhatian karena mengalami diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi lainnya,” tuturnya.
Jika RUU ini bisa disahkan, maka akan sejalan dengan dengan Kementerian PPPA yang mendapatkan lima mandat dari perempuan. Salah satunya adalah penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pekerja domestik, menjadi salah satu pihak yang sering mengalami kekerasan dan diskriminasi dalam bekerja.
“Kami juga dorong kampanye masif agar perempuan PRT berani bersuara ketika mengalami kasus-kasus seperti diskriminasi dan kekerasan. Kami juga dorong pembedayaan, melalui pelatihan supaya nantinya para pekerja rumah tangga yang idak hanya bekerja di dalam negeri tapi juga di luar negeri untuk terhindar dari kekerasan,” paparnya.
Eva Sundari, Direktur Institut Sarinah yang kerap mengadvokasi PRT mengatakan, nasib pekerja di sektor ini makin memburuk. Data terakhir, tuturnya, minimal setiap hari ada 10 perempuan yang dipekerjakan sebagai PRT mengalami pelanggaran atas hak-haknya.
“Hal ini terjadi karena tidak ada aturan rekrutmen tenaga kerja yang jelas. Jadi orang seenaknya saja dan korbannya para ibu yang ingin jadi PRT, dari kalangan miskin yang menanggung kehidupan 4-5 orang,” jelasnya.
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian, jika PRT bisa mendapatkan hak-haknya, termasuk upah yang layak, maka akan ada peningkatan daya beli yang kemudian berujung terkereknya produk domestik bruto (PDB) sebesar US$180 juta.
Dia menekankan bahwa para pekerja juga wajib mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas dan pengetahuan. Sehingga, memiliki kemapuan yang diharapkan oleh pemberi kerja. Selama ini, tuturnya, kasus kekerasan terhadap PRT disebabkan oleh kesenjangan pemahaman dan kemampuan antara pekerja dan pemberi kerja. (rizqon)
Editor: Abadi