BANJARBARU, klikkalsel.com – Memahami ajaran agama secara tidak ekstrim diperlukan moderasi (tidak radikal) di masyarakat, terutama di lembaga pendidikan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Selatan (Kalsel), Aliansyah Mahadi yang didampingi Kabid Agama, DR Zulkifli Musaba pada acara “Internalisasi nilai-nilai Agama dan Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Moderasi Beragama” di hadapan para guru PAUD, TK, SD/MI dan SMP/MTs di Hotel Dafam Banjarbaru, Jumat (30/10/2020).
Dengan tema “Moderasi dari Sekolah” menghadirkan nara sumber Direktur Pencegahan BNPT melalui Kasi Pengawasan Barang, Faisal Yan Aulia dan Direktur Daulat Bangsa, Sholehuddin M.Pd.
Didit nama panggilan Ketua FKPT Kalsel ini mengatakan, lembaga pendidikan menjadi sasaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Pusat dan FKPT karena fenomena baru adalah keterlibatan satu keluarga, termasuk anak-anak dalam aksi terorisme yang terjadi di Surabaya pada 2018 lalu, dengan melakukan aksi bom bunuh diri.
Padahal, kata dia, anak-anak yang terlibat notabene merupakan siswa berusia sekitar 8-18 tahun, yaitu usia sekolah.
Bahkan ada temuan mengerikan adalah intoleransi dan bibit radikalisme sudah masuk sekolah.
Hasil penelitian dari PPIM UIN Jakarta (2017), papar Didit, dilakukan terhadap siswa/mahasiswa dan guru/dosen dari 34 provinsi di Indonesia hasilnya sebanyak 34,3 persen responden memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.
Kemudian, sebanyak 48,95 persen responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Yang lebih mengagetkan lagi 58,5 persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan dengan opini yang radikal.
Ditambahkan Zulkifli Musaba yang menjadi salah satu nara sumber dalam kegiatan itu, persoalan yang muncul bibit-bibit radikalisme bisa masuk ke sekolah. Sehingga diperlukan strategi sekolah agar mampu mencegah pemahaman radikalisme memengaruhi cara berpikir guru khususnya guru agama dan siswa.
Dijelaskannya, perlu penerapan nilai budaya dan pendidikan karakter seperti sudah banyak kajian dilakukan oleh banyak lembaga terkait intoleransi, antikebinekaan dan bibit-bibit radikalisme yang mulai masuk ke ranah persekolahan.
Semua lembaga relatif sepakat jika radikalisme yang masuk ke sekolah melalui aktivitas pembelajaran di kelas oleh guru, melalui buku pelajaran yang diduga memuat konten intoleransi, melalui pengaruh dan intervensi alumni dalam kegiatan kesiswaan di sekolah.
Ia mencontohkan terapan nilai budaya seperti belajar bersama, kegiatan sosial, menolong sesama, mengibarkan bendera merah putih, menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan situasi atau keperluan, menggunakan hasil atau karya bangsa, menjaga kebersihan, berlalu lintas sesuai aturan dan menanam kelestarian lingkungan.
Faisal Yan Aulia dalam paparannya mengakui, guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
“Artinya siapapun gurunya, apapun mata pelajaran dan jenjang sekolah tempat mengajar, semestinya paham, bahwa mereka adalah insan pedagogis yang sedang melakukan aktivitas kebangsaan, berlomba-lomba mencapai tujuan bernegara,” sebutnya.
Untuk itu, sambung dia, perlu pencegahan penyebaran paham radikal terorisme di lembaga pendidikan yakni pembelajaran pendidikan agama dengan tuntas, jangan parsial dan harus komprehensif.
Kemudian, katanya, pendampingan kegiatan siswa, seleksi tenaga pendidik dan kependidikan, seleksi kepada orang atau kelompok yang akan masuk dalam kegiatan kesiswaan serta membiasakan menghormati keragaman.
Selanjutnya ciri mengindikasikan anak terpapar paham radikal, seperti mendadak anti sosial, berkumpul dengan komunitas yang dirahasiakan, perubahan sikap emosional ketika berbicara.
Selain itu, mengungkap kecurigaan dan kritik berlebihan, memutus komunikasi dengan orang tua dan keluarga, menampakkan sikap, pandangan dan tindakan yang berbeda. Terakhir cenderung tidak senang dengan pemikiran tokoh agama yang mainstream dan moderat. (*)
Editor : Akhmad