Matilah Kau UU Pers

Di Pasal 6 UU Pers, dikatakan, Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut, a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Pers akan kerepotan apabila melakukan liputan atas promosi doktor, diskusi, seminar, terkait dengan ideologi, yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, meskipun itu sejatinya demi kepentingan ilmu pengetahuan. Beritanya akan berpotensi menjadi pidana penjara 4 tahun, padahal  wartawan menjalankannya sebagai bagian dari tugas  pers. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Pers, Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Media-media di daerah yang kerap melakukan kontrol sosial atas proses pembangunan di wilayahnya mendapat ancaman yang nyata, ketika itu nanti dianggap sebagai bagian dari delegitimasi pemerintah atau pejabat pelaksananya.

Apakah pemberitaan jembatan yang rusak walau baru sebulan diresmikan, gedung sekolah yang ambruk padahal baru dibangun, jalan yang dibangun tidak sesuai spesifikasi, pejabat yang menyunat anggaran, kepala sekolah yang memungut di luar ketentuan, penentuan pejabat yang didasari suap,  menjadi pintu masuk penjara bagi wartawan. Bisa jadi meski wartawan menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang ditulis di Pasal 6 UU Pers, yakni d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

Yang juga perlu mendapat perhatian dan disikapi dengan hati-hati oleh wartawan adalah perihal penyiaran berita bohong. Dari sisi Kode Etik Jurnalistik, informasi yang sudah dikonfirmasi dari sumber yang tepat sudah dianggap informasi yang benar, tetapi bisa jadi menjadi berita bohong apabila dianggap merongrong kewibawaan lembaga, institusi.

Dewan Pers pernah mendapat pengaduan dari sebuah media di Jawa Tengah, yang dicap telah membuat berita hoaks oleh sebuah rumah sakit, padahal berita yang dibuat berdasarkan keterangan dari sumber yang jelas.  Berita mereka dicap “hoax” oleh lembaga kepolisian setempat, yang jelas menjatuhkan kredibilitas media karena sudah melakukan proses pemberitaan sesuai kaidah jurnalistik. Di dalam UU KUHP yang baru, status itu malah bisa berujung pidana penjara.

Dalam  Nota Kesepahaman (MoU) Kepolisian RI dan Dewan Pers, yang berhak menetapkan sebuah berita adalah karya jurnalistik atau bukan, mestinya Dewan Pers, melalui proses pemanggilan kedua pihak yang merasa dirugikan dan penyelenggara media.  Apakah ini masih berguna atau tidak apabila sudah ada pasal yang menjadikannya kasus pidana. ***

Upaya untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pastilah dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari masyarakat pers, agar pasal-pasal yang menghambat kemerdekaan pers, yang bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45, dihapus. Unjuk rasa pegiat pers, pegiat HAM, warga kampus, juga mungkin akan jalan terus walau tidak bakal mengubah apapun. Tetapi kalau itu tidak ditunjukkan, keadaan bakal dianggap baik-baik saja.

Tetapi yang mengherankan, kemana akal sehat dari para ahli yang merumuskan pasal-pasal yang “antireformasi” tersebut. Apakah mereka masih merasa hidup di zaman Orde Baru? Atau apakah merasa pers sudah menjadi penghambat penyelanggaraan pemerintah yang katanya demokratis sehingga kita selalu disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat? Dimanakah nurani para ahli yang berasal dari kampus, yang selalu mendengung-dengungkan kebebasan akademis, kemerdekaan berpendapat?

Marilah kita bersama-sama membela kemerdekaan pers, dengan seksama, sampai kapanpun, tetap lurus sekalipun bumi runtuh. ***