BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di balik geliat pembangunan Kota Banjarmasin era 1960-an hingga 1980-an, terdapat babak kelam yang jarang terungkap. Yaitu praktik pelacuran liar yang tumbuh subur di tengah denyut ekonomi pelabuhan.
Salah satu lokasinya yang paling dikenal adalah kawasan Kodamar, yang kini menjadi komplek Kantor Wali Kota Banjarmasin di Jalan R.E. Martadinata.
Menurut Mansyur, sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat kawasan itu dulunya merupakan pangkalan Angkatan Laut Jepang pada masa pendudukan (1942â1945), yang kemudian bertransformasi menjadi Komando Daerah Maritim (Kodamar) VI Banjarmasin pasca-kemerdekaan. Namun pada masa transisi tahun 1965 hingga akhir 1970-an, area tersebut juga dikenal sebagai titik panas prostitusi liar.
âAktivitas prostitusi di kawasan Kodamar berkembang karena posisinya yang sangat strategis, berdekatan dengan pelabuhan. Para pelaut dan buruh kapal yang baru kembali dari laut menjadi pasar utama,â ujar Mansyur, Selasa (22/7/2025)
Fenomena unik yang muncul dari praktik ini dikenal dengan istilah Jukung Bergoyang. Aktivitas seksual dilakukan di atas jukung atau perahu tradisional khas Banjar yang disewa khusus untuk keperluan tersebut.
Jukung-jukung itu akan berlayar ke sudut-sudut sepi Sungai Martapura, dengan fasilitas seadanya seperti tikar dan kasur.
âIstilah Jukung Bergoyang muncul karena aktivitas itu dilakukan di atas air, di perahu yang tentu saja bergoyang saat digunakan. Ini sudah menjadi rahasia umum warga kota saat itu,â jelas Mansyur.
Baca Juga :Â Sejarah Panjang Lokasi Prostitusi âBagauâ Banjarmasin, Sempat Ada 600 PSK
Baca Juga :Â Sejarah Kelam Pelacuran di Banjarmasin Era 1960-an
Selain Kodamar, kawasan Getek Telawang juga menjadi lokasi pelacuran terselubung lainnya. Terletak di tepian Sungai Martapura, Telawang awalnya hanya dermaga kecil tempat kelotok dan jukung bersandar. Namun, sejak malam menjelang, tempat ini berubah menjadi arena transaksi seks para babinian jukung sebutan untuk pekerja seks kelas bawah.
Menurut catatan Agustiawandy dan Simatupang (2005), para babinian jukung ini kebanyakan wanita usia setengah baya, melayani pelanggan dari kalangan buruh kasar dan pengangguran. Mereka dikenal sebagai veteran dunia prostitusi, yang bekerja tanpa payung hukum dan tanpa perlindungan sosial.
âGetek Telawang adalah cermin dari bagaimana pelacuran mengakar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat urban kelas bawah,â ujar Mansyur.
Jejak pelacuran di kawasan ini bahkan diyakini telah ada sejak zaman Jepang. Pemerintah pendudukan saat itu memusatkan praktik prostitusi di asrama (Ian Jo) untuk para budak seks atau Jugun Ianfu, yang salah satunya berada di dekat Residen de Haanweg (kini Jalan Lambung Mangkurat).
Fenomena pelacuran di Banjarmasin tidak hanya terjadi karena permintaan pasar, tetapi juga didorong oleh keuntungan ekonomi dan jaringan sosial yang kompleks. Bahkan setelah era Kodamar mulai meredup pada akhir 1970-an, aktivitas serupa tetap eksis di wilayah sekitar seperti Pelabuhan Trisakti, Pasar Antasari, dan bantaran sungai lainnya.
âFaktor ekonomi menjadi pemicu utama. Banyak pihak mengambil keuntungan, dan bahkan terjadi regenerasi pekerja seks dari generasi ke generasi,â ungkap Mansyur.
Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tersebut secara tidak langsung ikut memaklumi praktik itu. Ditambah lagi, beberapa mantan pekerja seks masih memiliki akses jaringan lama, yang membuka jalan bagi masuknya generasi baru ke lingkaran bisnis kelam tersebut.
âMeski saat ini kawasan Kodamar telah berubah menjadi pusat pemerintahan kota, kisah Jukung Bergoyang dan pelacuran di Getek Telawang tetap menjadi bagian dari sejarah sosial Banjarmasin yang tak bisa dihapus begitu saja,â pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi





