Oleh: Kadarisman
Presidium KAHMI Tabalong
KH Asmuni atau akrab dengan sebutan Guru Danau kini telah tiada. Banua kembali kehilangan seorang ulama kharismatik. Allah SWT memintanya kembali kepada sang penciptanya pada hari yang mulia, Jumat, 2 Februari 2024 lalu.
Berpulangnya Guru Danau tidak semata membuat ribuan umat kehilangan, tetapi juga membuat Banua kehilangan pasaknya. Keadaan itu membuat duka pada umat dan bagi Banua itu sendiri, setelah sebelumnya kehilangan KH Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Izai tahun 2005 dan KH Zuhdiannor atau Guru Zuhdi tahun 2020.
Sebagai pasak Banua, Guru Danau memiliki pengaruh ke sendi-sensi kekuasaan formal dalam kenegaraan dan informal dalam kehidupan sosial.
Itu sebab Guru Danau menjadi tempat tidak hanya bagi umat, tapi juga para elit politik, pemangku kekuasaan pemerintah di daerah, nasional hingga seorang presiden, mencari kesempatan untuk “mengalap” berkah darinya.
Kendati menjadi tempat yang selalu didekati para elit politik dan kekuasaan, Guru Danau tak pernah memalingkan wajah dan hati dari khitah sejati sebagai pendakwah yang berhikmat untuk umat.
Tempat tinggalnya di Danau Panggang menjadi rumah bagi siapapun jua yang hendak meminta petuah dengan perlakuan secara setara. Berbagai problem dari masyarakat marginal dapat tuntas dengan keberkahan doanya dan nasehatnya.
Tidak dibedakannya siapapun yang datang apakah orang berduit atau orang jelata, apakah pengusaha, pejabat atau rakyat biasa, semua disambutnya dengan penuh sikap yang memuliakan.
Pertama kalinya hadir di pengajian Guru Danau, saya masih bocah. Desa Namun, Kecamatan Jaro adalah satu tempat paling sering dakwah Guru Danau digelar melalui wasilah seorang pengusaha walet, Haji Aji.
Dakwahnya dari dahulu hingga sekarang secara konsisten membumikan shalawat dan melangitkan kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Hal lain Guru Danau selalu menekankan keutamaan pentingnya majelis ilmu yang disampaikannya dengan sangat persuasif kepada khalayak, sehingga jamaahnya membludak.
Meracik materi kajian dengan memahami dan memaklumkan heterogenitas latar belakang jamaah yang datang adalah kepiawaian Guru Danau.
Orang yang datang ke majelisnya sekadar tidur pun dimuliakan Guru Danau. Beliau sangat memuliakan jamaah yang mendatangi majelis ilmu, sekalipun seorang ahli maksiat.
Itu yang menjadi kelebihan Guru Danau. Dia benar-benar ulama umat yang memberi teladan bersikap dan berpenampilan.
Pembawaannya yang sederhana sangat jauh dari kesan keulamaannya yang besar.
Baca Juga : Guru Danau Wafat, Paman Birin: Kalsel Kehilangan Sosok Ulama Kharismatik
Baca Juga : Ustadz M Maulana Al-Kelayani Kisahkan Karomah Datu Kalampayan, Salah Satunya Betulkan Arah Kiblat
Apa yang tampak padanya dalam penampilan tidak berbeda dengan penampilan jamaah lainnya: berpeci putih, baju teluk belanga putih dan bersarung.
Satu ketika saya membawa serombongan tamu dari Jakarta diantaranya seorang pemimpin redaksi (pemred) majalah nasional yang ternama untuk berjumpa Guru Danau.
Sampai di Danau Panggang rumah beliau sudah dipenuhi umat. Semua tamu disilakan masuk disuguhkan minuman dan makanan ringan.
Ketika Guru Danau keluar menemui tamunya dari berbagai kalangan yang hadir itu, beliau langsung memanggil saya mendekat beserta Pemred yang saya bawa dari Jakarta.
Usai perjumpaan itu, pemred majalah nasional tersebut mengatakan kepada saya: “Kenapa kita yang pertama dipanggil sama Abah Guru? Seperti Guru mengetahui jika kita datang dari jauh dan buru-buru untuk kembali,” ujarnya.
Pemred begitu terkesan. Dia katakan begitu nyaman duduk bersila bersama banyak orang yang datang dari mana-mana. Dia merasakan jiwa yang tenang dan nuansa kebatinan yang tidak biasa.
Tak sedikit tokoh politik juga menjadi tamu sang guru. Beberapa kepala daerah yang saya tahu datang kepada beliau kemudian menjadi bupati, walikota hingga gubernur. Itu tidak hanya di Kalsel, tapi juga di Kalteng.
Walau pun banyak elit politik lahir berbekal “pencerahan” yang Guru Danau berikan, nyatanya hingga akhir masa hidupnya tak pernah sedikitpun beliau terlibat dalam pembicaraan politik kekuasaan apalagi politik praktis.
Keberadaan beliau selalu ada di tengah-tengah jamaah baik di majelis taklim atau pun rumah – rumah warga yang mengundang kehadirannya di jalan dan gang sempit. Di manapun Guru Danau hadir pasti selalu diikuti jamaah melimpah yang cinta kepada beliau.
Guru Danau telah menyuntikkan semangat bermajelis taklim bagi banyak orang yang kehilangan harapan untuk meraih keridhoan Tuhan.
Kemampuan persuasi sebagai metode dakwahnya merangkul kalangan awam membuat orang nyaman duduk di pengajian Guru Danau, sekalipun sambil tertidur atau sambil nongkrong meminum segelas kopi.
Kebijaksanaan hatinya, keluasan jiwanya, kesederhanaan, ketajaman mata batinnya memberikan pandangan atas berbagai persoalan kehidupan serta konsistensinya mengabdikan diri kepada umat atas syiar Islam membuat materialistik dan kekuasaan politik tak berkutik dan tak berarti apa-apa di hadapan sang guru.
Guru Danau benar-benar memberi teladan berperilaku buat umat sekaligus teladan buat para elit negara, ulama dan kiyai yang sekarang ini banyak terjebak dalam kepentingan politik dan kekuasaan. Selamat jalan sang teladan, Guru Danau, KH Asmuni.”(*)
Editor: Abadi