DPR RI Diminta Agar Mengkaji kembali Undang-undang Soal Gugatan Sengketa Pilkada

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Wakil Ketua DPD Partai Golkar Kalsel, Bidang Pemenangan Pemilu (Bapilu), Puar Junaidi, meminta DPR RI kembali mengkaji lagi soal Undang-undang pelaksanaan Pemilu atau Pilkada.

Hal tersebut disampaikan Puar setelah bercermin dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan adanya pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Kalsel. Menurut Puar kejadian itu sebuah catatan demokrasi yang merugikan masyarakat.

Memang kata dia, ketidakpuasan adalah hak pasangan calon, karena undang-undang membuka ruang untuk itu. Namun ujarnya, hal tersebut justru menjadi perhatiannya secara khusus.

Seperti pelaksanaan PSU di Kalsel. Ia melihat, gugatan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel nomor urut 2, Denny Indrayana dan Difriadi Darjat ke MK, tidak pernah ada dilaporkan saat proses PSU itu berlangsung (berjalan) ketika PSU ada pelanggaran. Tetapi tiba-tiba muncul saat melakukan tuntutan di MK.

Menurutnya, hal itu merupakan sesuatu yang aneh, sebab dari beberapa relawan sebelumnya sudah memasang sejumlah imbauan tentang tindakan pelanggaran saat PSU.

“Seperti yang memberi maupun menerima saat PSU akan dikenakan sanksi hukum, itu pun disambut ketidakpuasan,” ujar Puar Junaidi, Selasa (29/6/2021).

“Kalau memang ada pelangaran yang ditemukan, kenapa tidak disampaikan saat proses PSU itu berlangsung,” sambungnya.

Baca Juga : KPU Siapkan Bukti Bantahan dan Kuasa Hukum Baru Jelang Dimulainya Gugatan Denny Indrayana-Difriadi Jilid II di MK

Puar Junaidi juga menilai, gugatan tersebut adalah hasil rekayasa, karena bukti-bukti yang ada hanya sebuah pernyataan seperti modus pembagian zakat dan sebagainya.

“Padahal zakat itu terpisah dengan pelaksanaan PSU dan itu adalah budaya umat Islam setiap tahunnya dan ibadah, jadi tidak bisa dikait kaitkan, lain cerita kalau itu dadakan,” tegasnya.

Lebih fokus menjadi perhatiannya adalah mengenai tugas DPR RI untuk meninjau dan memperbarui Undang-undang Pilkada atau Pemilu. Karena bentuk pemerintahan Indonesia berdasarkan asas hukum nasional dari rakyat untuk rakyat dan kembali ke rakyat.

“Itu tulah cerminan demokrasi, oleh sebab itu di dalam undang-undang Pemilu ada kata bebas, namun kata jujur dan adil ditempatkan dimana, kalau menurut saya kata jujur dan adil itu hanya di MK,” imbuhnya.

Artinya bahwa hukum Nasional Indonesia sudah diciderai, hak-hak konstitusi rakyat telah dipatahkan oleh keputusan-keputusan MK yang dinilai ada demokrasi di atas demokrasi.

“Inilah yang membuat ruang calon tidak merasa puasa untuk merekayasa. Tapi dengan keputusan MK yang pertama harus menjadi pembelajaran untuk MK,” jelasnya.

Karena undang-undang tidak menyebutkan MK untuk melakukan penyelidikan, melainkan berpegang kepada administrasi.

“Contoh terjadinya penggelembungan suara, sekarang kan sudah dalam proses hukum dan ditingkatkan menjadi penyidikan. Artinya sekarang ini rakyat menjadi korban oleh calon, apalagi untuk tuntutan kedua ini,” sebutnya.

Oleh sebab itu, ia juga menilai pelaksanaan PSU di Kalsel merupakan yang luar biasa, pasalnya, untuk pelaksanannya pihak Polri mengirim 1000 personil dan TNI 1500 personil untuk pengamanan. Dalam artiannya PSU Kalsel merupakan sorotan yang luar biasa dibandingkan provinsi lain.

Pengamanan yang begitu hebatnya dan menjadi perhatian publik, jika masih saja ada gugatan bararti si calon tersebut tidak percaya oleh lembaga penyelengara dan untuk menutupi kelemahanya ia merekayasa tuntutanya.

“Bahkan di Kalsel, KPU dan Bawaslu pusat juga ikut hadir memantau jalanya PSU kemarin,” ujarnya.

Lebih lanjut, dengan MK menetapkan keputusan PSU yang lalu atas pengelembubgan suara, barati sudah mencidrai demokrasi.

Puar berharap, hal tersebut harus menjadi perhatian MK kedepanya dalam mengambil keputusan karena telah banyak yang menjadi korban pelaksanaan PSU kemarin.

“Seperti tim nomor urut 2 yaitu JR yang harus menjalani proses hukum,” katanya.

Sehingga banyak korban dari calon yang tidak konsisten dengan fakta integritas yang ditandatangani oleh kedua calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel di hadapan lembaga penegak hukum.

“Kalau janji itu dilangar berarti bisa dikatakan telah memciderai hukum, dan hukum telah di permainkan, jadi saya berharap kepada aparat penegak hukum, karena kita berupaya menagani penegakan hukum korupsi dan salah satu calon itu sudah kama ditetapkan sebagai pelaku korupsi diharap bisa cepat terselesaikan,” pungkasnya. (airlangga)

Editor : Amran