BANJARMASIN, klikkalsel.com – Setiap tanggal 23 Mei, kembali memunculkan kenangan pahit untuk warga Kota Banjarmasin yang mana saat itu telah terjadi peristiwa kerusuhan hebat dan banyak menelan korban jiwa.
Kota Banjarmasin yang tadinya tampak damai berubah seolah telah menjadi medan peperangan. Peristiwa mengerikan itu meninggalkan duka bagi keluarga korban dan juga kerugian materi dengan jumlah yang tidak sedikit.
Peristiwa tersebut bagi warga banua, sampai saat ini dikenal dengan sebutan Jumat Kelabu 23 Mei 1997.
Ramali (28) anak dari salah satu korban tragedi ‘Jumat kelabu’ menceritakan, saat itu dirinya baru berusia 3 tahun yang mana sang ayah, Badrudin menjadi korban kerusuhan kala itu.
“Saat itu saya baru berusia 3 tahun, saya diceritakan oleh ibu, saya waktu itu dibawa oleh ayah untuk Salat Jumat di Masjid Raya,” ujarnya, Selasa (23/5/2023).
Setelah itu, kata Ramali ada pawai dan konvoi yang telah memancing kemarahan masyarakat saat melakukan salat Jumat.
“Ayah saya setelah pulang Salat Jumat ke kelayan mengajak orang-orang Kelayan untuk ikut merusuh di Toko Lima Cahaya,” ceritanya.
Setelah merusuh di Lima Cahaya, kata Ramali, Ayahnya bersama teman-temanya kembali merusuh ke Mitra Plaza yang kemudian di Mitra terjadi penjarahan oleh massa kala itu.
“Dari kelompok ayah saya hanya satu orang yang selamat dan menceritakan ayah saya meninggal disitu (Mitra Plaza),” ungkapnya.
“Dia bilang ke ibu saya untuk mengirim doa untuk ayah,” sambungnya.
Setelah tragedi tersebut, lanjut Ramali bertepatan juga dengan krisis moneter yang mana keluarganya tidak memiliki tempat tinggal lagi.
“Tidak ada juga lagi tersisa foto-foto ayah saya, terus kami, saya bersama kakek dan keluarga tinggal di kolong Jembatan Merdeka dekat Pasar Kupu-Kupu selama 4 tahun,” tuturnya.
Kemudian, setelah 4 tahun itu Ramali ditemui oleh wartawan lokal yang kemudian mewawancarai kakeknya dan mengulik kisah tragedi Jumat Kelabu tersebut.
“Saat itu juga saya baru kecelakaan,” imbuhnya.
Baca Juga : STB Uniska Gelar Teatrikal Menolak Lupa Tragedi Berdarah 23 Mei 1997
Hingga sekitar 1 tahun kemudian, Gubernur Kalimantan Selatan yang saat itu dijabat oleh Rudy Arifin menemuinya dan menawarkan untuk melanjutkan pendidikan.
“Ditawari itu saya minta untuk sekolah di tempat Guru Ijai (KH Muhammad Zaini Abdul Gani) yang sering saya dengar di radio,” tuturnya.
“Disekolahkanlah saya waktu itu di Darusalam hingga berlanjut disekolahkan lagi ke Jawa Timur,” sambungnya.
Selesai melanjutkan sekolah di Jawa Timur, Ramali juga dikuliahkan lagi ke UIN Antasari dan sekarang menempuh pendidikan S2 di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Dari cerita ini, kata Ramali, dirinya mengaku sangat merasa kehilangan sosok Ayah dari kecil.
“Jadi hanya bisa mengirim doa, dan hampir setiap tahun berziarah,” tuturnya.
Kenangan pahit itu, juga dirasakan oleh sejumlah warga Banjarmasin yang mana melihat langsung insiden tersebut.
Seperti Nurjanah (60) warga Banjarmasin yang merupakan pensiunan pegawai asuransi di Jalan Pangeran Antasari. Kantornya saat itu tidak jauh dari lokasi kerusuhan menceritakan, saat peristiwa itu terjadi dirinya masih berusia 34 tahun.
Kenangan tersebut sampai saat ini masih membekas dan selalu terkenang dan tidak mudah untuk dilupakan.
“Tepat 26 tahun yang lalu, 23 Mei jatuh di hari Jumat. Saya saat itu berada di kantor, setelah salat Jumat tiba-tiba diluar kantor orang pada ribut dan banyak orang berkumpul,” ujarnya.
Dirinya yang tidak tahu keributan, mencoba untuk keluar kantor untuk mengeceknya. Namun, setelah keluar di halaman kantor baru menyadari bahwa telah terjadi kerusuhan.
Saat itu, kata dia suasana sangat mencekam, ditambah banyak orang yang berkumpul terlihat beringas dengan membawa sejumlah sajam di tangannya.
“Melihat itu, saya langsung bersembunyi di kantor karena mereka sangat beringas dan terdengar suara adzan dimana mana. Padahal bukan waktunya shalat,” ujarnya.
Baca Juga : Ketua DPRD Kalsel Sebut Jumat Kelabu Sejarah Kelam bagi Kalsel
Dijalan, sejumlah orang juga melakukan aksi bakar membakar dan setelah itu diketahui kerusuhan terjadi karena adanya perselisihan antara partai politik.
“Saya tahu hari itu jadwal kampanye partai Golkar dan kebetulan saya menggunakan pakaian berwarna kuning,” tuturnya.
Seketika, dirinya merasa takut dan bersembunyi ke dalam kantor agar terhindar dari amukan massa.
Menjelang sore, kata ibu dua anak itu, dirinya semakin merasa ketakutan dan tidak bisa pulang. Apa lagi saat itu dirinya masih tinggal di kawasan Banjarmasin Barat yang secara otomatis akan melalui pusat terjadinya kerusuhan.
“Sekian lama bersembunyi, kemudian ada orang yang menolong saya dan memberi saya baju ganti,” tuturnya.
Hingga sore hari, Nurjanah memberanikan diri untuk pulang ke rumahnya yang berada di kawasan Teluk Dalam, Kecamatan Banjarmasin Barat.
“Waktu pulang saya muter jalan melalui Pal 1 (A Yani Kilometer 1) ke Jembatan Dewi, masuk ke pasar Ujung Murung karena tidak berani lewat depan Mitra saat itu,” jelasnya.
Dalam perjalan pulang, banyak orang yang juga saling menyelamatkan diri dan berbagi kain berwarna yang diduga sebagai tanda kelompok.
Kondisi kota saat itu juga gelap karena karena listrik padam dan kebakaran terjadi dimana mana, suasana kian mencekam.
“Saya dikasih orang kain warna hijau saya pakai dan Alhamdulilah saat itu saya dapat pulang kerumah dengan selamat meskipun dihantui rasa takut,” ujarnya.
Baca Juga : Kerusuhan 23 Mei 1997 Sejarah Kelam Banjarmasin, Nurjanah : Suara Adzan Dimana-mana
Dalam hati, dirinya hanya bisa berdoa untuk diberikan keselamatan agar bisa tetap berkumpul dengan keluarga di rumah.
“Sampai saat ini, peristiwa itu masih tergambar jelas di benaknya,” imbuhnya.
Hal serupa juga diungkapkan, Suyoso Subagio (75), satu diantara penjual di pertokoan Mitra yang sudah berdagang sejak tahun 1989.
“Saat kerusuhan terjadi saya sudah berjualan disini,” ujarnya.
“Saat itu, tepat pukul 14.00 Wita, 23 Mei 1997 saya lihat di depan mitra ini banyak orang berkumpul dan mencabut bendera partai Golkar,” ceritanya.
Melihat itu, dirinya merasa tidak enak karena kondisi sangat mencekam dan berinisiatif untuk menutup toko lebih dahulu sementara dirinya berdiam di dalam.
“Saya di dalam saja, hawanya sangat panas, di samping toko saya ada toko sepatu merk Bata, toko itu habis dijarah dan dibakar,” ujarnya.
Sementara tokonya tidak ikut dijarah, hanya saja karena panas sebagian tas yang dijualnya ikut mengerucut. Akibat kejadian itu, dirinya mengaku mengalami kerugian yang lumayan besar.
Hingga pukul 20.00 Wita, kata Suyoso Subagio dirinya mau pulang. Namun diluar masih banyak orang sehingga tidak berani.
“Kebakaran itu terjadi, saya sembunyi di belakang. Sepertinya yang meninggal itu akibat terkurung dan menghirup asap. soalnya tidak ada yang nembak,” tuturnya.
Pasalnya, kata dia, petugas pengamanan hanya ada di luar berjaga. Hingga akhirnya dia memberanikan diri pulang dengan memutar melalui Jalan A Yani ke Pasar Ujung Murung.
“Dijalan saya melihat ada banyak orang sehingga saya memilih menginap di Hotel Rahmat yang saat itu masih ada dan keesokan harinya baru pulang,” jelasnya.
Diketahui, kerusuhan tersebut bertepatan dengan momen pemilu tahun 1997 yang rencananya akan ada acara besar-besaran di pusat Kota Banjarmasin. Yaitu kampanye partai politik dengan mengadakan panggung hiburan rakyat.
Panggung hiburan rakyat itu rencananya akan dilaksanakan usai ibadah Salat Jumat. Namun, rencana tersebut tidak pernah terwujud, dan justru berubah menjadi sebuah tragedi berdarah yang selalu dikenang sampai saat ini. (airlangga)
Editor: Abadi