Berstatus Pendidik, “Guru Cabul” di SMPN Banjarmasin Terancam Hukuman Lebih Berat

Dr Afif Khalid Dekan FH Uniska

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Seorang guru pendamping ekstrakurikuler di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Banjarmasin terancam hukuman lebih berat setelah diduga mencabuli tujuh anak laki-laki di bawah umur saat kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu).

Hal itu merujuk pada statusnya sebagai pendidik, sehingga membuatnya bisa dijatuhi hukuman lebih tinggi dibandingkan pelaku kejahatan serupa yang bukan berprofesi sebagai guru.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (Uniska), Dr. Afif Khalid menegaskan, bahwa pelaku tidak hanya dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengancamnya dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.

“Namun, karena statusnya sebagai tenaga pendidik, hukumannya bisa bertambah sepertiga,” ujarnya, Kamis (13/2/2025)

Baca Juga Kasus Pencabulan di Sekolah, Terbaru ada Tujuh Korban dan Pelaku Mengaku Juga Pernah Menjadi Korban

Baca Juga Pengamat Hukum Soroti Kasus Pencabulan oleh Pimpinan Pesantren

Menurut Dr. Afif, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah disahkan menjadi undang-undang menyebutkan bahwa jika pelaku adalah orangtua, wali, atau guru, maka ancaman pidananya harus ditambah sepertiga dari hukuman maksimal.

“Dalam kasus ini, karena pelaku adalah seorang guru, ancaman hukuman maksimalnya bukan lagi 15 tahun, melainkan meningkat menjadi 20 tahun penjara,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa aturan ini dibuat untuk memberikan efek jera, terutama bagi mereka yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anak tetapi malah melakukan kejahatan terhadap mereka.

Tidak hanya ancaman pidana yang lebih berat, pelaku juga berpotensi dijatuhi hukuman kebiri kimia. Pasal 81 ayat 7 dalam Perpu yang sama menyebutkan bahwa hukuman kebiri bisa diterapkan jika pelaku memiliki lebih dari satu korban, yang dalam kasus ini mencapai tujuh anak laki-laki.

“Jika melihat unsur-unsur dalam aturan tersebut, pelaku memenuhi syarat untuk dihukum kebiri kimia, karena jumlah korbannya lebih dari satu,” jelasnya.

Meskipun aturan teknis pelaksanaan hukuman kebiri masih menjadi perdebatan, ia menegaskan bahwa dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman tersebut sudah ada sejak Perpu ini disahkan menjadi undang-undang pada 12 Oktober 2016.

Bagai Afif, kasus tersebut menjadi pengingat bahwa siapapun yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak, terutama mereka yang berprofesi sebagai pendidik, harus menghadapi konsekuensi hukum yang lebih berat.

“Hukum harus ditegakkan dengan tegas, terutama dalam kasus seperti ini. Tidak ada ruang bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, apalagi seorang guru yang seharusnya melindungi mereka,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi