BANJARMASIN, klikkalsel.com – Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif H mengatakan pemerintah terus melakukan sosialisasi secara masif terhadap isi Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana atau RUU KUHP. Sosialisasi ini sekaligus untuk mengakomodir masukan masyarakat.
Edward mengatakan, sosialisasi RUU KUHP ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Dia juga mengatakan peran serta masyarakat penting dalam RUU KUHP.
“Kita tidak hanya sosialisasi semata, tetapi yang lebih penting adalah menerima masukan dari masyarakat,” tuturnya dalam diskusi online bertema “RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) pada Senin (29/8/22).
Merujuk pada Instruksi Presiden dalam rapat terbatas (ratas) tanggal 2 Agustus 2022, Edwar menjelaskan, sosialisasi RUU KUHP bukan hanya menjadi urusan Kementerian Hukum dan HAM, namun juga melibatkan berbagai kementerian dan lembaga negara.
Adapun kementerian dan lembaga negara yang ditugaskan mulai dari Kementerian Koodinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Badan Inteligen Negara, Mabes Polri, Kejaksaan, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Agama, Staf Khusus Presiden dan juga Kepala Staf Presiden.
Instruksi presiden ini setelah mempertimbangkan luasnya wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Ditambah dengan jumlah populasi yang begitu besar.
“Indonesia ini terlalu luas ya, dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah penduduk yang begitu banyak. Meskipun sosialisasi itu telah dilakukan oleh KemenkumHAM sebanyak 12 kali di 12 kota pada tahun 2021, tetapi ini dirasa masih kurang cukup,” bebernya.
Edward menegaskan, tujuan pemerintah melakukan sosialisasi secara masif adalah untuk membuka ruang dialog bagi masyarakat serta menyampaikan masukannya.
“Artinya kita melakukan dialog dalam rangka pelibatan masyarakat dalam pembentukan RUU KUHP,” pungkasnya.
Diketahui, pemerintah telah menyerahkan draf RUU KUHP kepada DPR pada 6 Juli 2022 lalu untuk dilakukan pembahasan lebih mendalam sebelum kemudian disahkan. Edward menyampaikan, ada 37 bab dan 632 pasal dalam RUU KUHP ini.
Proses revisi RUU KUHP ini sudah berjalan cukup panjang dan panitia kerja RUU KUHP pemerintah sudah berdiskusi dengan para pakar hukum pidana serta mencatat berbagai masukan. Salah satunya dengan Dewan Pers sebagai elemen penting mewakili masyarakat.
Edward menggarisbawahi, pasal-pasal yang terdapat dalam rumusan RUU KUHP hasil revisi sama sekali tidak menyinggung mengenai tindak pidana pers.
“Sebetulnya, yang dikhawatirkan oleh Dewan Pers adalah potensi. Potensi ini kan bisa ya, bisa tidak. Jadi dikhawatirkan potensi bisa menekan kebebasan pers,” terangnya.
Baca Juga : Dewan Pers Nilai RUU KUHP Berpotensi Memberangus Kebebasan Pers
Baca Juga : Banjarbaru Gantikan Banjarmasin Sebagai Ibukota, Rifqi Nizamy: Tak Ada Penolakan Saat RUU
Dewan Pers, lebih lanjut Edward menambahkan, tidak hanya memberikan kritik, namun juga solusi. Hal ini merupakan nila positif dari Dewan Pers.
“Solusi menurut pendapat saya pribadi, itu sangat bisa diakomodasi. Karena konstruksi pasalnya itu tidak dirubah. Tetapi ditambahkan, di-insert di dalam rumusan pasal-pasal itu kecuali untuk kepentingan jurnalistik. Kalau itu saya kira sudah aman,” jelasnya.
Selain itu, Edward melanjutkan, proses pelibatan Dewan Pers melalui dialog public dilakukan secara terbuka dan terbatas. Terbuka artinya menerima masukan dari manapun. Sementara terbatas, sebab pihaknya lebih fokus pada 14 isu krusial.
“Saya kira ini berjalan secara paralel, sembari pemerintah melakukan dialog publik dan sosialisasi, DPR juga melalui jalur formal sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP),” tandasnya.
Sementara itu Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Kalimantan Selatan (Bem Se-Kalsel) menyatakan menolak RUU KHUP.
Menurut mereka, di dalam RKUHP tersebut terdapat beberapa pasal karet atau dinilai dapat membunuh demokrasi dan dipandang hanya menguntungkan pemerintah.
“Ada banyak, diantaranya pasal 273, 353 dan 354,”Ketua Bem Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Ardhi Faddakiri
Pasal 273, kata Ardhi membahas terkait penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipidana penjara paling lama 1 tahun.
Kemudian, pasal 353 dan 354 terkait penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
“Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara pada Pasal 353 RKUHP dengan ancaman 1 tahun 6 bulan,” ucapnya.
Pasal 354 RKUHP dinilai lebih parah. Karena pasal itu mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan dan lembaga negara melalui media elektronik.
Tidak hanya itu, juga banyak didapati pasal lainya seperti pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah diatur dalam Pasal 240 RKUHP.
“Rancangan aturan itu menyebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah berakibat kerusuhan. Ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara dan denda paling banyak kategori IV,” ujarnya
Lebih lanjut, ujarnya, dalam RKUHP juga terdapat pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat.
“Dalam pasal ini masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah, dikhawatirkan akan memunculkan kesewenang-wenangan dan peraturan daerah yang diskriminatif,” tandasnya. (rizqon)
Editor: Abadi