Kalsel  

Proklamasi di Borneo Selatan : Perjuangan di Balik Tirai Gelap Penjajahan

Foto Para Pejuang memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Pedalaman Kalimantan (Koleksi : Mansyur/ wajidi)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya di Jakarta. Namun, di Borneo Selatan, kabar gemilang ini tak langsung sampai ke telinga rakyat.

Dalam bayang-bayang penjajahan Jepang, sekelompok kecil pejuang di Banjarmasin dan sekitarnya berjuang keras untuk membawa berita kebebasan itu ke tanah Kalimantan.

Mansyur, sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), menggambarkan situasi saat itu penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian.

“Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan disembunyikan seperti harta karun,” kata Mansyur, Sabtu (17/8/2024) kepada klikkalsel.com

“Hanya mereka yang berada di lingkaran tertentu, seperti A.A. Hamidhan, yang mengetahuinya. Dan meskipun begitu, Jepang mengawasi mereka dengan sangat ketat.” sambungnya.

Dijelaskannya, A.A. Hamidhan kala itu adalah tokoh penting dari Banjarmasin yang menjadi pimpinan redaksi surat kabar “Borneo Simboen”.

Ia pulang dari Jakarta setelah menghadiri sidang-sidang penting Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Di tangannya, ia membawa sebuah berita yang bisa mengguncang Borneo Selatan, teks Proklamasi Kemerdekaan dan kabar Indonesia telah merdeka.

Namun, harapan Hamidhan untuk segera menyebarkan berita ini terhalang oleh pengawasan ketat Jepang.

Baca Juga : Pakaian Adat Nusantara Warnai Peringatan HUT RI Ke-79 di Balai Kota Banjarmasin

Baca Juga : 1.261 Warga Binaan Lapas Narkotika Karang Intan Terima Remisi Kemerdekaan RI 2024

Ia bahkan harus disembunyikan di kota kelahirannya, Rantau, demi melindungi rahasia besar itu.

“Tetapi semangat kemerdekaan tak bisa dibendung,” tegas Mansyur.

Di Kandangan, meski di bawah bayang-bayang penjajah, para pemuda berhasil menyebarkan kabar gembira ini. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih dan membacakan teks Proklamasi di sebuah pasar malam yang diadakan Jepang.

“Di tengah kegelapan penjajahan, api kemerdekaan mulai menyala di hati rakyat,” lanjut Mansyur.

Pada 26 Agustus 1945, kata Mansyur, setelah berbagai rintangan, berita Proklamasi akhirnya diizinkan untuk dipublikasikan melalui surat kabar
“Borneo Simboen” edisi Banjarmasin.

Namun, Jepang tidak tinggal diam. A.A. Hamidhan dan beberapa tokoh pergerakan lainnya terpaksa meninggalkan Banjarmasin menuju Jawa pada awal September, membawa serta harapan yang mereka semai di Borneo Selatan.

Sementara itu, di Kotabaru, berita kemerdekaan justru datang lebih cepat, tidak melalui Banjarmasin, melainkan dari pelaut-pelaut Jawa dan Sulawesi.

Ketiga pemuda pelaut yang datang pada pertengahan September 1945 membawa kabar penting bahwa Indonesia sudah merdeka.

“Ini adalah momen yang mengubah segalanya bagi penduduk Kotabaru,” ujar Mansyur.

Pertemuan demi pertemuan digelar, bendera dikibarkan, dan semangat perjuangan semakin membara. Meski terlambat, kemerdekaan akhirnya dirasakan oleh rakyat Borneo Selatan.

Mereka tidak lagi hanya mendengar kabar dari jauh, tetapi mulai menyusun langkah untuk membangun Indonesia yang merdeka, dari tanah mereka sendiri.

“Inilah kisah perjuangan yang terlupakan. Di balik berita yang terlambat sampai, ada semangat tak tergoyahkan dari rakyat Borneo Selatan untuk merdeka.” pungkasnya. (airlangga)

Editor : Akhmad