Politisi Dalam Pandangan Tuhan

Kadarisman
Pemerhati Sosial Politik Banua

Kerap saya mendengar pernyataan bahwa politik itu buruk. Rancak praktik politik meninggalkan kekisruhan, permusuhan hingga kerusuhan dan perpecahan. Tak jarang faktor politik jadi sebab kandasnya ukhuwah yang mengenyampingkan nilai-nilai luhur dari tujuan substansi politik itu sendiri.

Politik diidentikkan dengan kekejaman, keburukkan dan vandalisme. Padahal politik adalah ladang kemulian sebagai manifestasi Tuhan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Seperti firman Tuhan: Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan pemegang kekuasaan politik (Ulil Amri) diantara kamu.

Pemimpin politik sebagai Ulil Amri menjadi tempat spesial dalam pandangan Tuhan. Sebab inilah, setiap Pilkada dan Pilpres banyak kader bangsa berlomba-lomba mengambil jalan dakwah melalui jalur kekuasaan politik.

Politik praktis bukan gerbong buruk yang tujuannya adalah gerbang neraka. Tapi politik praktis justru menjadi gerbang kemuliaan yang di ujung tujuannya adalah kebaikan.

Apapun ikhtiar kebaikan itu, jika Tuhan ridho tak lagi berarti surga dan neraka. Karena keridhoan Tuhan lah capaian tertinggi kehambaan.

Di dalam suluk, politik praktis adalah wadah bagi mereka yang mengurusi negara (politisi). Medan pengabdian ini Tuhan jadikan sebagai “asbab” (sebab akibat – karena negara perlu ada yang mengurusi). Tuhan jadikan sebagain dari hambanya yang berkhidmad kepada asbab ini. Jika tidak akan menyebabkan ketidak seimbangan.

Siapapun mereka yang taqdirnya di posisi asbab, hendaklah ia kemudian tunduk kepada taqdir Nya, menerima dan menjalankannya dengan penuh rasa takut akan tidak taat kepada Tuhan agar lahir rasa cinta kepada Nya dalam mengemban kekuasaan politik.

Namun ada kalanya sebagai politisi putus asa dengan taqdirnya sendiri untuk mewujudkan kebaikan dalam wadah juang politik.

Terlintas dalam hatinya ingin lari dari tugasnya mengurus negara agar dapat lebih dekat kepada Tuhan.

Sikap putus asa di dalam asbab itu membuat dirinya ingin masuk kepada tajrid. Kondisi memaksa diri untuk tajrid (melepas keduniawian) sementara dia ditaqdirkan Tuhan di asbab, membuat keinginan itu jatuh jatuh pada syahwah yang tersamar halus. Tuhan memang jadi tujuan, tetapi itu tak lebih dari nafsu untuk bertuhan. Kebertuhan nya adalah untuk kepentinganya pribadinya semata.

Sebaliknya ketika Allah tetapkan seseorang di dalam tajrid, lalu ia hendaki dirinya ke dalam asbab, maka itu adalah kejatuhan dari himmah (keinginan menuju Allah). Kondisi seperti ini kerap terjadi, di mana mereka yang sudah tajrid meninggalkan maqomnya berpindah kepada asbab.

Maka menjadi politisi itu adalah juga maqom yang tinggi dari Tuhan. Allah tetapkan pada bagian mana untuk siapa dan siapa pada bagian mana Dia tetapkan.

Dan kesemua itu adalah kebaikan jika peran yang dijalankan untuk mengontribusikan aspek manfaat yang rahmatan lil’alamin. Pada akhirnya politik bukan hal buruk, justru jalan kemuliaan dan capaian maqom yang tidak bisa dibilang rendah.

Di beberapa kesempatan saya katakan, politik bukankah keburukan. Politik hanyalah tools atau instrument untuk mencapai tujuan kebaikan bersama-sama. Aris Toteles di masa lalu menyebutnya sebagai The Good Life.

Apa yang saya tulis tersebut merupakan jawaban kenapa kontestasi pemilihan presiden, kepala daerah dan anggota legislatif ramai jadi rebutan. Karena aspek dakwah dan kesempatan menabung amal kebajikannya amatlah besar.

Perkara dalam praktik politik praktis terdapat distorsi tidak serta merta dapat dikatakan bahwa politik harus dijauhkan dari jalan syiar. Soal penyimpangan buruk bahkan juga terjadi dalam beragama. Tetapi agama bukanlah hal buruk.

Justru karena semangat syiar nilai Tuhan lah, politik praktis harus dimasuki dan diambil alih dari pihak yang melakukan distorsi.

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pemilu dan pilkada akan serentak atau beriringan pada tahun yang sama. Konsekuensi tahun politik pasti menawarkan tingkat dinamika yang cukup tinggi.

Rivalitas terbuka dan ketat. Kalau landasan memasuki gelanggang ini salah tujuan, maka ranah politik akan menjadi tempat dan tujuan yang salah pula.

Siapapun yang berani terjun ke gelanggang politik praktis tahun 2024 pastilah mereka orang-orang yang baik dan pemberani. Keputusan itu harus mendapat apresiasi, karena tugas dan tanggung jawab yang berat itu masih banyak diperebutkan. Ini jadi indikator kita berlimpah orang-orang yang baik yang siap mengemban amanah walau itu berat.

Namun demikian berat dan ringan bukanlah faktor yang bisa membuat ringan dan membuat berat bagi tugas seseorang. Hal menjadi persoalan adalah mencuatnya politik balas jasa dampak dari hight cost nya biaya politik yang diikuti.

Kenapa politik balas jasa muncul dalam praktik politik bangsa ini? Karena masyarakat kita sangat permisif atas politik transaksional.

Pendidikan politik yang buruk pada warga negara membuat mereka menjadikan momen pemilu dan pilkada sebagai lahan jual beli suara. Hingga entah sampai kapan kekuasaan politik tidak akan pernah sampai kepada para pihak yang sejati.

Pada akhirnya traksaksionalitas tersebut melanggengkah politisi transaksional juga tersebut sebagai aktor kekuasaan yang tersandera.

Padanya terseutkan ulil Amri minkum yang tidak merdeka, melainkan tersandera oleh hutang dari biaya politik yang entah bagaimana harus dibayar.

Pada akhirnya penyimpangan dan distorsi kekuasaan politik terjadi. Persoalannya bukan pada politik, tapi tujuan dan cara meraih kekuasaan politik tadi cacat nilai dan cacat moral.

Hingga saat ini, politik masih menjadi ijtihad yang menyediakan ladang dakwah yang tak kalah penting dari peran para tuan gurubdan para alim di dalam menyeru kepada kebaikan. Politik adalah kebaikan itu sendiri.*