Dia mewanti-wanti, baik Banjarmasin, Banjarbaru dan sekitarnya memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk kisaran 1,5 – 2 persen yang artinya akan terjadi pola sebaran pemanfaatan lahan seperti sarang laba-laba, termasuk Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar.
“Maka dari itu saya kira pindah atau tidak ibukota, implikasi dari demografis dan pembangunan keniscayaan akan terjadi pola demikian. Banjarbaru dan Banjarmasin tetap menjadi magnet pembangunan (primary city) dengan pola tersendiri,” tegasnya.
Disinilah justru integrasi perencanaan pembangunan dan antar kawasan Banjarbakula itu penting bersama Pemerintah Provinsi, apalagi dengan kehadiran pemekaran Kabupaten Gambut Raya sebagai kawasan penopang dua primary city ini. Desain pembangunan ini harus terintegrasi dan tentu saja dikaitkan Provinsi Kalsel sebagai pintu gerbang IKN.
Dia mengungkapkan, maka wajar jika ada kalangan di Kalsel yang berkaitan dengan input dan proses pergantian Uundang-undang tersebut melakukan komparasi dengan Undang-undang Provinsi Bali yang memiliki usaha yang sama jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan UU Provinsi Kalsel baik aspek otonomi, isu pembagian urusan pemerintahan, daya saing daerah, bahkan terkait asas dan tata adat Bali dan pelestarian kebudayaan.
“Hal ini wajar karena masyarakat dan elit actor di Provinsi Bali jauh-jauh hari sudah melek terhadap perubahan Undang-undang tersebut apalagi sejak ramainya kebijakan Desentralisasi Asimetris atau yang kita kenal dengan otonomi khusus, mereka mempersiapkan,” ketusnya.
Baca Juga : Banjarbaru Gantikan Banjarmasin Sebagai Ibukota, Rifqi Nizamy: Tak Ada Penolakan Saat RUU
Baca Juga : Soal Pemindahan Ibukota, Ibnu: Ini Bikin Undang-undang boss! Bikin Perda Saja Ada Uji Publik
Menurut Taufik, secara mendalam konten Undang-undang Provinsi Bali saat ini justru bisa menjadi pintu masuk pada ekspektasi menuju usulan Otonomi Khusus Provinsi Bali dengan sebutan Keistimewaan. Lantaran implikasinya diikuti dengan perangkat kebijakan lainnya termasuk anggaran pembangunan khusus.
“Usulan disertasi saya tahun 2012 di Program Doktor UGM terkait soal Kebijakan Desentralisasi Asimetris Kalimantan, tetapi sayang tidak diperkenankan oleh para dosen penguju usulan disertasi,” ucapnya.
“Waktu itu saya menganggap ada syarat-syarat yang memungkinkan desentralisasi asimetris, yakni ketidakmerataan pembangunan, berbatasan dengan negara lain, kaya sumberdaya alam, adanya tatanan keraton/kerajaan dan Lembaga adat semua provinsi, lintasan jalur laut internasional dan apalagi saat ini IKN ada di Kalimantan. Jadi usulan desentralisasi asimetris tidak harus dilewati dengan separatism” sambungnya.
Kembali terkait UU Provinsi Kalsel tahun 2022, dia menilai patut diapresiasi guna meluruskan yang bengkok, meninggikan yang rendah terkait atas Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956.
Menurutnya memang harus diganti meski banyak pihak tercengang sampai harus berganti pusat Ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru.
“Realitas ini menjadi catatan penting bagi kita kedepan bahwa keterlibatan ragam aktor, partisipasi publik terhadap hal-hal hajat orang banyak mesti diperlukan ruang diskursus pada aras input dan proses sebelum masuk pada ruang formulasi kebijakan,” pungkas Taufik yang juga sebagai Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik ULM.(rizqon)
Editor : Amran