Oleh: Kadarisman
Pemerhati sosial, tinggal di Tanjung, Tabalong
Konstelasi demokrasi bangsa mengalami dinamika pelik. Tuduhan kecurangan pada hasil pemilu 17 April 2019 silam menjadi bahasan sejagat. Tuduhan dan bantahan berhadap hadapan. Laksana peluru kendali yang saling menyalak saling merontokkan. Dinamika ini kemudian terpolarisasi semakin tajam. Pemilih yang menjadi penentu masa depan bangsa menjadi terbelah. Pemerintah belum hadir sebagai penengah yang mampu memaknai dinamika itu. Alhasil ketidak percayaan pada penyelenggara pemerintahan merembet pada lembaga lainnya tempat meminta keadilan itu diteggakkan. Lembaga pengadil tidak menjadi pilihan.
Pertentangan hasil dalam pemilu pada sebuah negara demokrasi hal biasa. Kekuasaan tidak boleh menggunakan pengaruhnya kepada alat negara karena preferensi politiknya. Membungkam suara lantang atas hak rakyat untuk menyampaikan pendapat justru memperuncing dan memperkeruh tensi sosial politik sekaligus membahaykan demokrasi itu sendiri. Ujungnya, bisa menguatkan tuduhan kepada penguasa menjadi dalang dari kisruh yang sedang disuarakan; kecurangan!
Bagaimana menyikapi kecurangan? Dalam konteks beragama, kecurangan itu seolah ada karena Tuhan telah dinafikan dari dalam jiwa. Tuhan yang sangat dekat, tak hadir dalam kemuliaan akal dan hati. Kecurangan senada kejahatan, Tuhan tak pernah menjadikanya sebagai taqdir dari kenaifan manusia. Tetapi hasrat dan syahwat duniawi memupus fitrahnya. Itu sebab kecurangan menjadi pergunjingan saat ini.
Praktik curang ditentang sangat keras. Sama kerasnya membalasnya dengan kecurangan. Sama halnya sebuah kezaliman, Tuhan mengharamkannya berbalas zalim yang melampaui batas. Pelaku curang tidak akan beroleh kejayaan, tetapi sejatinya ia hanya memasuki pintu sebuah kekalahan: Kekalahan terhadap imannya, kekalahan terhadap fitrahnya, kekalahan terhadap hati nuraninya dan kekalahan di hari yang sejati Yaumul Hisab.
Curang kemudian menjadi dinamika dalam muslihat kehidupan. Sepanjang jalan yang diorientasikan pada dunia, di situ ada potensi curang. Ia ada ketika subjektivitas Pribadi mengalahkan iman. Manusia yang masih bernafas mesti memaknai ketika dia dicurangi, sejatinya dia beroleh kebaikan ketika ia bersabar. Orang yang sabar adalah org yang sadar dan paham ketika ia dicurangi tetapi tak berhasrat melakukan hal serupa. Sadar dizalimi, tetapi menahan diri tidak membuat kezaliman lainnya.
Dalam catatan sejarah Umar bin Khatab ketika menjadi Khalifah bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab atas satu hal. Ubay bin Ka’ab mengadukan sang Amirul Mukminin ke pengadilan. Datanglah mereka berdua ke persidangan
Ketua Hakim, Zaid bin Tsabit, melihat Khalifah Umar, langsung turun dari podiumnya lantas menyambutnya penuh hormat. Apa kata Umar bin Khatab? “Hakim yang mulia, Zaid, inilah ketidakadilanmu yang pertama!”
Zaid yang menjadi hakim menyadari akan teguran Umar. Sejurus kemudian sang Hakim menepis permohonan Ubay, yang meminta sang pemimpin kaum muslimin, Umar disumpah. Hakim menilai tak pantas memandang tidak percaya pada Umar yang kendali negeri ada di tangannya. Dengan kewenangan dan kuasanya, sebenarnya mudah baginya untuk berbuat apapun. Tapi apa kata Umar? “Hakim, inilah ketidakadilanmu yang kedua. Jika orang lain tak kau perlakukan sama, maka kamu tak pantas menjadi pejabat di pemerintahan ku!”
Maka, apapun kecurangan memiliki tempat saluran penyelesaian. Tuduhan kecurangan mesti dibawa ke meja pengadilan untuk diputuskan perkaranya. Namun demikian suara menuntut keadilan tidak boleh disamakan dengan subversive. Penguasa tidak boleh semena-mena menggunakan kekuasaannya atas keistimewaan yang dilebihkan UU atasnya.
Penguasa tak boleh menutup mata atas kesewenangan pejabatnya memperlakukan pihak-pihak yang menyuarakan atas keberatannya dalam penyelenggaraan bernegara. Penguasa mesti gagah berani menegur pejabatnya untuk tidak mudah menjadikan lawan sengketanya sebagai tersangka atas apa yang mereka keluhkan.
Penguasa mesti dapat mencontoh Umar yang menolak sikap alat Negara memberi kesan keberpihakkan dalam sebuah sengketa. Pun penggugat mesti dapat mencontoh Ubai bin Ka’ab berani membawa persoalannya pada tempat yang telah diberi kewenangan UU dalam memberikan putusan.
Dengan demikian bangsa ini dapat saling memaknai bagaimana dinamika sosial politik di Negara yang berasas hukum dan demokrasi. Bangsa ini dapat bebas dari saling menzalimi yang berangkat atas dugaan kecurangan. Bagi pemerintah menahan diri untuk tidak berlebihan dari kewenangannya atas kekuasaanya, sejatinya menumbuhkan rasa percaya publik akan hukum. Pemerintah tidak boleh panik lalu melegalisasi pengebirian hak demokrasi rakyat oleh tangan-tangan aparat.
Harus seperti Umar Bin Khatab, berani menegur aparat negara yang di bawah kuasanya, untuk tidak berlebihan dan membedakan menangani perkara hukum pihak yang berseberangan. Jika hal ini dapat dijalankan tidak ada alasan untuk tidak menjadikan aparat berwenang sebagai tempat yang tepat meminta hukum ditegakkan dan pengadilan sebagai pihak yang tepat memutus sengketa pemilu dapat diselesaikan(*)