Opini  

Idul Fitri Hari Kemenangan Siapa?

Oleh: Kadarisman Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong

Satu ketika, usai Perang Badar yang sangat berat dan melelahkan, Rasulullah SAW berucap kepada para sahabat. “Kita baru saja pulang dari sebuah jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.”

Para sahabat tertegun diam. Bagaimana Perang Badar hanya disebut sebagai jihad yang kecil. Dalam kondisi yang tidak siap dan dengan mujahid hanya berjumlah 300 orang harus menghadapi tentara musuh 1000 orang. Ini bukanlah perang yang ringan.

Terlebih ketika itu bulan Ramadhan, dimana kaum muslim baru saja menerima perintah kewajiban berpuasa. Maka para sahabat bertanya. “Adakah peperangan yang lebih dahsyat dibandingkan Perang Badar ya Rasulullah?”

Rasulullah menjawab dengan mengiyakan. “Jihaadin nafsi. Jihad melawan hawa nafsu.

Hari Raya Idul Fitri 1446 H yang saat ini dirayakan kerap disebut sebagai hari kemenangan. Orang – orang beriman yang berpuasa sebulan penuh menyakini dirinya sampai kepada level taqwa, level kemenangan.

Ijazah taqwa sebagaimana disebutkan QS Al Baqarah ayat 183 menjadi tanda kelulusan dan kemenangan.

Ketika 1 Syawal menggeser Ramadhan orang – orang merayakannya sebagai hari kemenangan. Kemenangan dari “perang” yang besar sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW, yakni perang melawan dirinya sendiri.

Tetapi apakah dengan selesainya bulan Ramadhan setiap orang yang berpuasa mendapatkan kemenangan?

Boleh jadi yang turut dalam merayakan kemenangan itu sejatinya ornag – orang kalah, yakni mereka yang berpuasa penuh, salat malamnya rutin, tetapi sebenarnya hanya terjebak dalam rutinitas ritual semata.

Baca Juga DPRD Kalsel Turut Meriahkan HUT ke-58 KAHMI

Baca Juga KAHMI Tabalong : Stigma Politik Disebabkan Minimnya Peran Parpol Dalam Edukasi Politik

Sabda Rasulullah SAW: “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa – apa, kecuali lapar dan haus. Betapa pula banyak mereka yang bangun malam mendirikan salat tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lelah.”

Apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW tersebut menunjukkan bahwa sekalipun Ramadhan merupakan wadah penempaan kepada orang yang beriman, belum tentu lulus semua.

Meminjam istilah pewayangan Mahabharata, Ramadhan laksana Kawah Candradimuka yang ketika orang – orang ditempa di dalamnya lalu melahirkan manusia yang dipenuhi kesadaran tinggi dalam bertuhan.

Orang yang sadar bertuhan lah yang akan mampu menjalani kehidupan pasca Ramadhan, dimana hatinya masih terpaut pada nilai – nilai Ramadhan.

Kaffahnya kehambaan kepada Tuhan tak lagi membuat gemerlap dunia mampu membelenggunya.

Namun pun demikian sekalipun dunia tidak mampu menawan dirinya, seorang hamba tak boleh pula hidup meninggalkan dunia dimana tempatnya berpijak.

Membumikan dirinya dalam kehidupan nyata dengan nilai – nilai Ramadhan adalah cara seseorang melangitkan diri sebagai hamba Tuhan.

Puncak taqwa kemudian tidak diukur seberapa konsistennya seseorang membangun ibadah ritualnya dengan Tuhan, tetapi juga seberapa intens seorang hamba mengaktualisasikan perbuatannya sebagai ibadah kepada manusia lainnya.

Taqwa tidak saja membawa orang berorientasi kepada Tuhan, tetapi juga berorientasi pada kehidupannya untuk menjadi manfaat bagi kehidupan orang lainnya.

Taqwa tidak sekadar mengendalikan syahwah untuk berhikmat kepada akhirat tetapi juga kemampuan mengendalikan ego akhirat untuk melupakan dunia padahal Allah SWT jelas – jelas masih menempatkannya di dunia.

Taqwalah yang membuat seorang hamba dan orang lainnya hidup begitu nikmat, indah dan bahagia. Hidup yang demikian itu adalah hidup yang tidak lagi menjadikan makhluk menjadi gantungan hidup dan sandaran sebuah harapan.

Taqwalah yang membebaskan seorang hamba tak mampu disakiti dengan hinaan dan cibirin oleh siapapun. Dan dengan taqwa itu pula tak seorang dalam hidupnya yang tak termaafkan.

Pada akhirnya ijazah taqwa yang dicetak oleh Ramadhan adalah pribadi yang mampu mencintai Tuhan dengan sepenuh penuh kesadaran, sementara dia menyadari kemampuan mencintai Tuhan nya semata – mata sebab Tuhan mencintainya.

Dengan bahasa taqwa itulah Tuhan meminta seorang hamba hidup di tengah – tengah hamba yang lainnya di dunia lalu,, bukan di tengah – tengah malaikat.

Pada akhirnya Hari Raya Idul Fitri tahun ini adalah hari kemenangan bagi mereka yang menjadikan dirinya kerinduan bagi manusia lainnya sekaligus menjadi yang dirindukan oleh Tuhannya.(***)

Editor: Abadi