BANJARMASIN, klikkalsel.com– Ekonom Universitas Padjadjaran (Unpad) Aldrin Herwany menekankan Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus disahkan sesegera mungkin bersama DPR RI sebelum kondisi perekonomian Indonesia makin terpuruk. Hal ini disebabkan sudah banyak perusahaan yang terdampak sehingga jutaan pekerja dirumahkan dan terkena PHK.
“Mending RUU Cipta Kerja duluan diketuk palu. Jangan sampai nanti lagi. Karena pasca-Covid-19, banyak persoalan yang harus kita selesaikan. Kalau masih ada pandangan yang berbeda-beda, habis waktu nanti. Mending dari sekarang ketuk palu,” kata Aldrin dalam seminar daring bertajuk “Aspirasi untuk RUU Cipta Kerja dalam Membangun Kembali Sektor Ketenagakerjaan, Industri, dan UMKM Pasca Pandemi Covid-19”, Kamis (7/5/2020).
Ia menjelaskan, kini sudah banyak perusahaan dari berbagai sektor yang tidak bisa beroperasi akibat Covid-19, termasuk sektor informal. Misalkan jika ada sebuah perusahaan tutup, memiliki hutang ke perbankan, maka untuk melakukan recovery, perusahaan harus kembali beroperasi dengan relaksasi dan restrukturisasi kredit dengan peran Otoritas Jasa Keuangan.
“Tapi kan ada peraturan banking, pada saat OJK tidak bisa berbuat banyak, di sinilah masuk peran omnibus law. Yang bisa pertahankan ketenagakerjaan sehingga bisa tetap beroperasi pasca-Covid-19. Maka dengan peraturan ini OJK bisa top up kredit lagi. Kalau enggak, bisa tutup perusahaannya,” katanya.
Bagi dia, RUU Cipta Kerja bisa memangkas berbagai peraturan yang saling tumpang tindih, sehingga nantinya kepastian hukum untuk investasi akan lebih jelas. Apalagi, saat ini negara-negara di dunia, tengah berlomba untuk melakukan gebrakan yang dapat menarik minat investor untuk berinvestasi setelah pandemi Covid-19.
“Semua investor punya desire ingin investasi, sedang mencari tempat aman dan enggak ribet peraturannya. Kalau ketok palu sekarang RUU Cipta Kerja, saya yakin, investor akan pilih Indonesia setelah pandemi Covid-19. Karena selama ini risk di kita tinggi, investor sedang wait and see, kalau sekarang ada gebrakan seperti RUU ini, investor akan lari ke kita, yang nganggur akibat pandemi akan terserap,” katanya.
Di mata dia, pengesahan RUU tersebut tidak bisa dinanti-nanti. Dan jika belum disahkan sampai akhir tahun ini sedangkan Covid-19 masih terjadi di Indonesia, maka akan menjadi keterpurukan ekonomi yang terburuk di Indonesia, dengan begitu akan sulit melakukan recovery ekonomi.
“Ini momen yang sangat tepat bagi DPR untuk membahas dan mengesahkan omnibus law. Jangan sampai hilang momen, nanti makin susah. Saya tidak mengerti kenapa didiamkan, apa menunggu demo dulu. Harus diingat, kita sedang menghadapi kondisi ekstrem dan butuh gebrakan segera. Jangan diem-diem aja,” katanya.
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung dari Jawa Barat ini, juga menilai saat krisis seperti ini adalah momen yang tepat bagi implementasi omnibus law.
Hal serupa dikatakan pakar ketenagakerjaan dari Indonesian Consultant at Law (IClaw) Hemasari Dharmabumi. Konsultan Organisasi Buruh Internasional untuk PBB (ILO) ini mengatakan yang harus dicermati bersama adalah bahwa RUU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja, bukan RUU Ketenagakerjaan.
RUU ini, katanya, akan menyelaraskan berbagai peraturan yang tumpang tindih, sehingga meningkatkan efisiensi dalam proses investasi, kemudian menarik investor dan akhirnya menciptakan lapangan kerja sangat cepat.
“Inilah, yang sangat dibutuhkan di kala krisis seperti saat sekarang. Kalau tidak disahkan segera, DPR akan kehilangan momentum. Nanti sama saja dengan nunggu rakyat ke DPR berdemo, bukan berdemo menolak RUU Cipta Kerja, tapi karena mereka tidak punya kerjaan dan karena mereka lapar,” katanya.
Menurutnya, Covid-19, membuat perekonomian Indonesia yang sedang terganggu pelesuan ekonomi global makin ambruk. Pemerintah di sisi lain tidak bisa terus menerus memberikan bantuan dan sembako kepada masyarakat terdampak karena keuangan yang terbatas. Maka solusinya adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang cepat kepada masyarakat.
“Akan ada masanya, ketika pihak yang mempersulit pengesahan RUU Cipta Kerja akan menjadi public enemy. Karena menghambat penciptaan lapangan kerja secara cepat yang dibutuhkan masyarakat. Nanti akan muncul permintaan rakyat sendiri, siapa pun yang akan menyediakan lapangan pekerjaan, akan jadi pahlawan,” katanya.
Hemasari mengatakan, dengan RUU Cipta Kerja, minimal akan mempertahankan perusahan yang ada untuk tidak pindah ke negara lain. Kemudian membuat perusahaan yang terpuruk menjadi kembali beroperasi normal. Harapan terbaiknya, katanya, jika mendatangkan investor untuk menciptakan lapangan kerja baru.
“Sebanyak 2,8 juta orang terdampak, 1,7 juta orang dirumahkan, di Jabar 200 ribu orang dirumahkan, pekerja yang dirumahkan tanpa gaji itu rawan pangan dan harus masuk dalam proteksi pemerintah. 749,4 ribu pekerja formal di-PHK, 282 ribu pekerja informal terganggu usahanya, 100 ribu pekerja migran dipulangkan,” kata Hemasari.
Menurutnya, tugas pemerintah terkait ketenagakerjaan pada hakikatnya adalah memberikan garis pengaman dan melindungi tenaga kerja. Kondisi di lapangan hari ini, para serikat pekerja justru memanfaatkan aturan untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan.
“Ini tidak ada relevansi antara serikat pekerja dengan pekerjanya. Harusnya, serikat pekerja ini menjembatani dan memfasilitasi peningkatan kesejahteraan dengan para pengusaha bukan terus menekan pemerintah,” kata Hemasari.
Aturan ketenagakerjaan saat ini juga membuka ruang permainan mafia ketenagakerjaan. Realisasi penerapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sektoral yang terlalu tinggi, membuat mayoritas perusahaan tidak bisa memenuhinya.
Hemasari juga menambahkan penerapan UMK sektoral yang terlalu tinggi, membuat pengusaha di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak akan bisa memenuhi kewajibannya. Padahal, UMKM adalah salah satu sektor yang menyerap paling banyak tenaga kerja di Indonesia.
“Semakin banyak jumlah UMKM, kalau terus harus mengikuti upah sektoral, maka dapat berarti semakin banyak orang bekerja yang tidak terlindungi oleh regulasi. Ini kan tidak baik,” kata Hemasari yang cukup lama aktif di International Union Food (IUF) ini.
Indonesia juga merupakan satu-satunya negara yang memiliki lebih dari 300 jenis upah minimum. Ini terdiri dari 34 upah minimum provinsi (UMP) yang bercabang kembali di tiap kabupaten dan kota.
“Jumlahnya sampai 333 jenis upah minimum. Padahal, negara sebesar Cina saja hanya ada tiga klaster upah. Indonesia yang paling banyak dan paling rumit sistem ketenagakerjaannya,” kata Hemasari.
Hemasari Dharmabumi mengatakan tuntutan masyarakat terhadap lapangan pekerjaan akan sangat tinggi pasca pandemi covid-19. Hemasari menilai pemerintah perlu untuk segera mengetok palu RUU Cipta Kerja.
“Akan muncul keinginan dari masyarakat sendiri terhadap lapangan kerja. Masyarakat di masa pasca-pandemi covid-19 akan menuntut pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya,” kata dia. (ril)