BANJARMASIN, klikkalsel.com – Ribuan sopir dan pekerja tongkang masih terdampak penutupan jalan hauling khusus batubara di KM 101 Tapin. Akibatnya mereka menganggur tanpa penghasilan lebih dari 10 hari, sejak blokade jalan itu terjadi pada 28 November 2021.
Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Muhammad Handry Imansyah mengatakan, persoalan yang terjadi antara PT Antang Gunung Meratus (AGM) dan PT Tapin Coal Terminal (TCT) harus segera diselesaikan. Mediasi diperlukan untuk mempertemukan perbedaan dua kepentingan, agar ekonomi Kabupaten Tapin yang terancam memburuk akibat bertambahnya pengangguran.
Namun demikian, menurut Prof Handry, jika mediasi buntu maka pemerintah daerah dan DPRD Tapin memiliki daya paksa untuk menyelesaikan masalah ini. Karena blokade jalan hauling KM 101 merugikan perekonomian banyak pihak di daerah tersebut.
Baca juga: Persoalan Hukum Antar Dua Perusahaan Batubara Berimbas Bagi Asosiasi Tongkang dan Para Sopir
“Tentu banyak pihak yang dirugikan. Termasuk masyarakat luas. Negosiasi dan mediasi bisa dilakukan antara pihak demi kepentingan bersama yang lebih besar. Jika mediasi buntu, pemerintah dan DPRD punya daya paksa,” ujarnya Minggu (12/12/2021).
Prof Handry menambahkan, sengketa yang terjadi di antara kedua perusahaan harus segera diselesaikan. Jika salah satu pihak merasa dirugikan, melalui mediasi hal tersebut semestinya dapat dicari solusinya.
Jika kemudian proses mediasi mengalami jalan buntu, Prof Handry menyarankan agar kedua perusahaan yang bersengketa menyelesaikan persoalan melalui jalur pengadilan.
“Pengadilan adalah salah satu langkah terakhir untuk menyelesaikan sengketa. Jika memungkinkan, jalan hauling itu pun bisa dibuka terlebih dahulu sembari perundingan atau sidang di pengadilan berjalan,” sarannya.
Sebelum adanya penutupan dan blokade KM 101, aktivitas di jalan hauling tersebut berjalan normal. Hal itu dimulai dari kerjasama penggunaan lahan sejak tahun 2010.
Pada tahun 2010 tersebut, PT BMSS dan PT AGM pemegang izin PKP2B sudah mendapat izin pembangunan underpass oleh Gubernur Kalsel melalui PT BBC salah satu perusahaan dalam group BMSS. Pada saat itu Anugerah Tapin Persada (ATP) juga mengajukan permohonan izin pembangunan underpass.
Namun, Gubernur Kalsel saat itu Rudy Arifin, meminta agar ATP bekerja sama dengan BMSS dan AGM dalam pembangunan underpass karena izinnya sudah keluar terlebih dahulu.
Belum selesai dibangun, PT ATP jatuh pailit. Kemudian Tim Kurator PT ATP yang ditunjuk pengadilan, mendapatkan izin dari pengadilan untuk menandatangani Perjanjian 2010 dengan PT AGM dan PT BMSS, agar proyek jalan khusus tambang dan Pelabuhan khusus PT ATP dapat terus berlanjut.
Informasi diterima, perjanjian 2010 lahir dari iktikad baik PT AGM untuk bersama-sama menjalankan bisnis secara berdampingan. Inti dari kesepakatan itu adalah tukar pakai tanah antara PT AGM dan PT ATP, yang mana PT ATP berhak untuk menggunakan tanah PT AGM seluas 1824 m2 di sebelah timur underpass KM 101 untuk jalan hauling ATP.
Kemudian, PT AGM berhak memakai tanah PT ATP di sebelah barat underpass KM 101 untuk jalan hauling PT AGM. Dalam perjanjian 2010 juga terdapat sejumlah poin kesepakatan yang mengikat kedua perusahaan.
Pertama, perjanjian berlaku sepanjang tanah tukar pakai masih digunakan untuk jalan hauling. Kedua, perjanjian tidak berakhir dengan berpindahnya kepemilikan tanah. Ketiga, perjanjian berlaku mengikat kepada para pihak penerus atau pengganti dari pihak yang membuat perjanjian.
Ketika proyek jalan khusus tambang dan pelabuhan PT ATP beralih kepada PT TCT, perjanjian 2010 tetap dilaksanakan baik oleh PT AGM maupun PT TCT selama sepuluh tahun sejak sekitar 2011. Namun, sejak Oktober 2021 kemarin, terjadi sengketa wilayah di lahan tersebut. Akhir November 2021, terjadi pemasangan garis larangan melintas dan diikuti blokade oleh PT TCT di wilayah kilometer 101 Tapin. (rizqon)
Editor: Abadi