BANJARMASIN, klikkalsel.com – Pelabuhan Lama atau Pelabuhan Martapura Lama yang terletak di Jalan RE Martadinata dekat Kantor Walikota Banjarmasin sudah lama tidak ada aktivitas perdagangan lagi.
Diungkapkan, Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, aktivitas bongkar muat Pelabuhan Lama atau Pelabuhan Martapura Lama yang terletak di Jalan RE Martadinata itu sejak tahun 1965 telah dipindahkan ke Pelabuhan Trisakti.
“Sejak saat itu, Pelabuhan Lama menjadi merana dan mati,” kata Mansyur, Sabtu (15/10/2022).
Diketahui, pengelolaan pelabuhan untuk menjadi sarana perdagangan, tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Studi tentang pelabuhan sudah dilakukan sejak tahun 2004 lalu.
“Endang Susilowati dalam risetnya tentang Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin tahun 1880-1990, memiliki banyak jawaban tentang matinya pelabuhan lama.” jelasnya.
Menurut Susilowati (2004), pada abad XIX pelabuhan Banjarmasin merupakan pelabuhan terbaik di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur. Pintu masuk dan keluar pelabuhan adalah sungai Martapura dan sungai Barito yang sangat lebar.
Sayang pelabuhan yang terletak di Sungai Martapura itu memiliki kelemahan yang tidak mudah ditanggulangi, yaitu endapan lumpur pada muara sungai.
Akibatnya pelabuhan Banjarmasin sering mengalami pendangkalan yang sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas pelayaran.
“Kondisi pendangkalan yang cukup parah terjadi di muara Sungai Barito,” ungkapnya.
Baca Juga : Pesawat Pertama di Langit Borneo, Caudron dan Ambisi Poulet Terbang Dua Benua (bagian 2-habis)
Baca Juga : Pesawat Pertama di Langit Borneo Mendarat di Sungai Tabuk: Bagian 1
“Inilah hasil kajian Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havens, Batavia, yang dipublikasi tahun 1920,” sambungnya.
Saat air laut sedang surut, kala itu kedalaman pintu keluar masuk Pelabuhan Martapura Lama
kurang dari enam kaki, sehingga tidak memungkinkan dapat dilewati oleh kapal besar.
Pada saat itu lah kapal besar yang akan memasuki Sungai Barito untuk menuju pelabuhan harus menunggu di open sea sampai tiba air pasang.
Namun, saat air laut dalam keadaan pasang kedalaman air di sekitar muara Sungai Barito akan naik antara 13 sampai 14 kaki.
“Dalam kajiannya, Susilowati (2004), yang mengutip dari artikel “Van Borneo” De Locomotif tanggal 2 Januari 1919, menceritakan gangguan alam tersebut terjadi Pelabuhan Lama,” imbuhnya.
Kejadian itu, kata Mansyur, betapa mengganggu dan merugikan keberadaan beting lumpur di ambang sungai Barito yang menyebabkan terjadinya pendangkalan mulai dari kejadian yang menimpa kapal de Weer pada Desember 1918 pagi kapal uap de Weer: tiba di ambang sungai Barito.
Namun karena permukaan air sedang surut, maka kapal terpaksa membuang sauh. Hingga pada pukul 17.00 Wita, ketika air mulai pasang, jangkar diangkat kembali dengan susah payah. Dengan perjalanan yang sangat lambat kapal bisa mencapai sungai Barito sebelum malam.
Namun kapal tidak dapat menamakan perjalanan karena sudah terlalu gelap untuk melayari sungai Barito. Baru pada subuh keesokan harinya de Weer melanjutkan pelayaran menuju pelabuhan.
Seandainya tidak terhalang di ambang sungai Barito, seharusnya de Weer sudah bersandar di pelabuhan pada tanggal 21 Desember pukul dua siang, tetapi pada waktu itu kapal tersebut baru dapat bersandar pada tanggal 22 Desember pukul tujuh pagi.
“Dengan demikian de Weer telah kehilangan waktu selama 17 jam,” tuturnya.
Sementara itu, hasil kajian Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havana juga mengemukakan bahwa sampai pada akhir abad XIX kondisi pelabuhan Banjarmasin masih belum memadai untuk pelaksanaan aktivitas bongkar-muat dari kapal-kapal yang singgah, karena sempitnya dermaga yang ada.
“Kelemahan ini kemudian dapat teratasi dengan selesainya perbaikan dermaga pada tahun 1911. Meskipun demikian kapasitas dermaga dalam menerima kedatangan kapal pada saat-saat lalu lintas pelayaran cukup padat tetap menjadi masalah yang belum teratasi,” jelasnya.
“Hal itu terlihat dari antrian kapal-kapal yang menunggu saat untuk dapat berlabuh di dermaga,” lanjutnya.
Kemudian, pada tahun 1901 telah dipertimbangkan untuk memindahkan emplasemen deanne ke Sungai Barito agar kepadatan arus lalu lintas pelayaran di Sungai Martapura dapat teratasi.
Namun, rencana itu tidak terelisasi karena besarnya biaya. Lalu di tahun 1915, ketika permasalahan semakin kompleks, karena kemudian muncul masalah boom (tempat menambatkan kapal) yang juga belum terpecahkan.
Pengelola pelabuhan dihadapkan pada dua pilihan yaitu memindahkan dermaga atau memperbaiki dermaga yang sudah ada.
“Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havana dalam Susilowati (2004), juga merilis bahwa dengan berbagai pertimbangan yang menyangkut keuntungan dan kerugian terhadap aktivitas perdagangan yang selama ini sudah berkembang pesat, dan pemanfaatan biaya seefektif mungkin, pengelola pelabuhan memutuskan untuk memperbaiki dermaga yang sudah ada,” ujarnya.
Adapun perbaikan yang dilakukan terutama adalah pengerukan lumpur pada praefgeul (alur) dengan lebar dasar 100 meter, lebar di dalam laut 600 meter, dan panjang 7,5 kilometer.
“Pekerjaan itu dimulai pada akhir tahun 1916 dan baru selesai pada pertengahan tahun 1918,” terangnya.
Endapan lumpur yang berhasil dikeruk adalah sebanyak 1.350.000 nf. Keberadaan Sungai Barito dan Sungai Martapura beserta sejumlah besar anak sungai yang muara akhirnya tidak jauh dari pelabuhan Banjarmasin terus-menerus menciptakan endapan lumpur, sehingga mesin pengeruk lumpur harus selalu siap untuk dioperasikan.
“Namun pengoperasian alat penyedot lumpur tersebut dinilai agak mengganggu lalu lintas perdagangan di pelabuhan Banjarmasin. Sehingga harus dihentikan sementara,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi