BANJARMASIN, klikkalsel.com – Melanjutkan cerita sang Bissu seorang waria sakti dikalangan masyarakat Bugis yang mana memiliki anugerah kesaktian luar biasa.
Dijelaskan Mansyur, sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), selain memimpin upacara adat, bissu juga bisa menentukan waktu menanam sekaligus memanen untuk petani.
“Uniknya, perhitungan tersebut sangat akurat melebihi hitungan petaninya sendiri,” kata Mansyur, Senin (11/12/2023).
Para bissu juga dapat berkomunikasi
dengan makhluk halus dan roh nenek moyang, saat mereka dirasuki. Serta akan akan kebal dari senjata-senjata tajam yang ditusukkan pada badannya.
“Itulah anugerah yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa pada para bissu.,” imbuhnya.
Mereka juga memiliki komunitasnya sendiri, bahkan mereka menguasai bahasa kuno dan bahasa khusus para bissu.
Karena itu, para Bissu merupakan salah satu simbol kekuatan magis untuk suku atau masuatakat bugis.
Keberadaan Bissu ini membuktikan akan kekuatan spiritual di dunia. Meskipun jumlahnya kini
sangat sedikit, namun Bissu adalah simbol budaya bugis yang masih berjaya.
“Suku Bugis di wilayah Kalimantan bagian tenggara dan timur yang bermukim sejak pertengahan abad ke-18 dan berkembang hingga abad ke-19 dan abad ke-20, berasal dari
Sulawesi Selatan,” tuturnya.
Migrasi Suku Bugis ke Kalimantan dilatarbelakangi oleh spirit massompe’ atau merantau meninggalkan kampung halaman ke daerah lain.
Satu diantara tujuan migrasi
Bugis tersebut adalah di wilayah Pagatan yang termasuk wilayah
landschap Tanah Boemboe di masa Hindia Belanda.
Baca Juga Kisah M Sigit Official Kepala Dusun yang Berhasil Menjadi YouTubers
Baca Juga Cerita Sang Bissu Seorang Waria Sakti di Kalangan Masyarakat Bugis (Bagian 1)
Simbol-simbol kelas sosial yang ada pada masyarakat tradisional seperti pakaian dengan perhiasan dari emas, intan permata, pakaian mahal, maupun barang lain yang menggambarkan kekayaan, menjadi penanda pemisahan strata sosial masyarakat Bugis di Tanah Bumbu pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Menurut Mansyur, laporan Schwaner, masyarakat Bugis di Tanah Bumbu pada tahun 1855-an memiliki pakaian dan
atribut tersendiri untuk menunjukkan kelas sosialnya.
Sebab, pakaian adalah salah satu cara orang Bugis melambangkan status sosial seseorang dalam masyarakat.
“Bahasa, pakaian, jabatan, status dan lain-lain adalah simbol,” tuturnya.
Dalam sebuah simbol, kata Mansyur, ada makna tertentu yang menurut pemakainya berharga. Seperti pakaian dan atribut kehajian pada masyarakat Bugis.
“Identitas haji yang paling menonjol. Keduanya merupakan berkah dari haji yang pertama sekali dan paling dihargai oleh orang Bugis. Karenanya, haji yang tidak memakai busana haji pada waktu pulangnya, maka oleh orang lain hajinya
dianggap tidak memiliki berkah,” jelasnya.
Lebih lanjut, strata sosial masyarakat Bugis di wilayah Tanah Bumbu divisualkan oleh Schwaner dalam bentuk lukisan pada tahun 1844.
Lukisan yang cukup menarik adalah tampilnya sosok Calabai. Schwaner menuliskannya dengan pakaian golongan Calabai.
“Dalam ejaan Bugis Makassar adalah Calabai. Sosok yang berperan sebagai bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual,” ungkapnya.
Keberadaan bissu di Kerajaan
Pagatan, menurut K.G. Anderson pada masa pemerintahan Ratu Sengngeng Daeng Mangkau (1875-1883). Bissu dijadikan sebagai tempat untuk ‘konsultasi’ mencari pasangan hidup, meminta saran dan pendapat.
Para bissu menandakan bahwa di Kerjaan Pagatan walaupun sudah beragama Islam tetapi masih menganut kepercayaan Bugis tradisional.
“Menurut Sharyn Graham, seorang Bissu tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria, karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apapun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka,” cerita Mansyur.
Kemudian, dalam kepercayaan tradisional Bugis, tidak terdapat hanya dua jenis kelamin seperti yang dikenal, tetapi empat (atau lima bila golongan bissu juga dihitung), yaitu oroane atau laki-laki, makunrai atau perempuan, calalai atau perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki dan calabai atau laki-laki
yang berpenampilan seperti layaknya perempuan.
Nama bissu pertama terdapat dalam naskah La Galigo yang menyebutkan adanya saudara kembar emas Sawerigading yang bernama We Tenri Abeng Bissu Rilangi.
“Bisa dibaca dalam tulisan H. Hary Sumange dan M.E. Fachry, “Menelusuri Keberadaan Bissu (Calabai) di Kabupaten Soppeng” (Makalah
dipresentasikan pada Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading Mamasa, 10-14 Desember 2003,” paparnya.
Istilah Bissu mempunyai persamaan dengan istilah Biksyu dalam agama Budha. Ini membuktikan adanya pengaruh agama Budha yang kurang mendalam di Sulawesi Selatan.
Penampilan Bissu itu mirip banci. Penampilan fisik seperti itu dimaksudkan agar mereka dapat melepaskan diri dari tuntutan biologi terhadap lawan jenisnya. Dengan demikian, hubungan Bissu dengan para dewa tidak pernah putus.
Pendapat yang sama dikemukakan Hooykaas, selain berperanan para bissu zaman dahulu juga sebagai pendeta agama juga berupaya menjaga puteri-puteri raja, khususnya ketika mereka sedang mandi atau mengganti pakaian.
“Setidaknya hal ini yang dilukiskan Nurhayati Rahman, dalam tulisannya tentang Agama, Tradisi dan Kesenian dalam
Manuskrip La Galigo”, sari volume 26 tahun 2008,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi