Oleh: Kadarisman (Pemerhati Sosial di Tanjung, Tabalong)
Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) Provinsi Kalimantan Selatan yang akan digelar pada 2020 tak bisa di bilang lama. Pilkada serentak tahun depan membuka kontestasi baru untuk gubernur Kalimantan Selatan, dan itu tentu sudah sangat dekat.
Persiapan dan komunikasi politik tidak bisa tidak dilakukan. Kendati masih silent, penjajakan sudah pasti dilakukan. Lalu siapa yang berani meramaikan pesta pilkada itu sebagai kontestan?
Petahana selalu hampir dipastikan ambil bagian dari tarung itu. Sahbirin Noor yang saat ini menjabat sebagai gubernur, sulit mengatakan tidak ambil bagian mempertahankan posisinya sekarang.
Kendati secara eksplisit belum dimunculkan, namun secara tersirat itu dapat dilihat, kesempatan kedua tidak akan dilepas begitu saja.
Petahana memiliki kelebihan. Dia diidentikan pada potensi besar kemenangan.
Pasalnya, secara sosial politik dia telah menancapkan popularitasnya ke hadapan pemilih. Petahana juga memiliki pengalaman kemenangan dan tahu apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi penantang baru.
Belum lagi basis struktur komunikasinya lebih diuntungkan dengan posisinya. Ada banyak hal yang bisa dimanfaatkan, termasuk menggunakan pengaruhnya terhadap struktur di pemerintahan kabupaten hingga tingkat RT.
Berkaca pada pilkada gubernur 2015 lalu, kekuatan finansial menjadi aspek penting menggalang kekuatan. Bisa jadi dominasi partai politik menjadikan petahan sebagai magnet koalisi besar. Jika Sahbirin Noor ketika 2015 disokong oleh 7 partai politik, maka tahun 2020 kekuatan parpol pendukung tidak akan bergeser dari pengalaman sebelumnya.
Koalisinya akan tetap besar. Apalagi pada pileg DPRD Kalsel, Golkar sebagai pemenang dengan kalkulasi menguasai sedikitnya 12 kursi. Artinya Sahbirin Noor kalau mau, tidak butuh parpol lain untuk mengusungnya.
Tiket maju sudah di tangan. Tidak sulit bagi Sahbirin Noor menghimpun parpol untuk membangun koalisi. Apalagi Paman Birin juga merupakan Ketua Partai berlambang pohon beringin.
Namun pilihan menguasai koalisi besar tetap akan dilakukan sebagai salah satu strategi mempersempit ruang penantang. Bagaimanapun parpol yang memiliki kursi di DPRD menjadi tiket masuk ke dalam arena kontestasi.
Hal itu yang kemudian menjadi hal berat dan sekaligus pelajaran berharga bagi Sultan Khairul Saleh. Mantan Bupati Banjar ini harus diakui sebagai penantang potensial di perpolitikan daerah.
Pengalamannya sebagai bupati dua periode sejak 2005, jelas sebagai modal politik dan pemerintahan yang tak dapat diabaikan. Jaringanya cukup luas. Itu sebab kemudian ia memenangi perebutan pemilihan legislatif untuk DPR RI pada pemilu 2019 baru tadi melalui Partai Amanat Nasional (PAN).
Sultan Kahirul Saleh tentu tak bisa dianggap remeh temeh. Ia memiliki basis masyarakat kultural yang memiliki garis emosional. Profilnya lebih mudah diterima oleh masyarakat Banjar batang banyu. Mereka akan menjadi pemilih militan yang siap bergerak membawa jargon baru di dalam perebutan kursi gubernur 2020.
Figur sang Sultan memiliki nilai tawar cukup di daerah Banua enam. Berbahayanya sosok Kahirul Saleh, menjadi salah satu alasan kenapa koalisi besar parpol tahun 2015 akan terulang di tahun 2020.
Khairul Saleh seolah membaca keadaan, PAN tempatnya berpartai, sulit dijadikan sebagai perahu politiknya.
Ketua PAN Muhidin memiliki kepentingan sendiri. Terlebih Muhidin yang berpasangan dengan GT Farid Hasan ketika 2015 adalah kompetitor yang hampir membuat Sabirin Noor gagal melenggang ke kursi Kalsel 1.
Namun selisih angka yang terpaut tipis ketika itu tidak berlanjut ke MK.
Ada deal politik antarkeduanya. Boleh jadi pilkada tahun 2020, Muhidin adalah orang yang dijanjikan menjadi pasangan Sahbirin Noor. Bahkan Muhidin sudah membuka diri, siap untuk posisi wakil calon gubernur.
Menempatkan Muhidin sebagai pasangan pilkada gubernur Kalsel bagi Sabirin Noor, bukan semata bagian dari deal politik masa lalu, tapi juga mengawinkan potensi basis suara keduanya.
Tidak mau kegagalan serupa terjadi, Khairul Saleh mulai ancang-ancang.
Disaat pihak lain belum terang-terangan, dia sudah mewacanakan partisipasinya secara terbuka untuk turut dalam kontestasi Pilgub. Khairul Saleh tampak percaya diri memilih jalur independen. Pasalnya, dia tentu sudah memiliki peta suara melalui ekseptabilitasnya dalam pemilihan anggota DPR RI baru tadi.
Raupan suara yang dikantonginya secara pribadi melebihi 50 ribu, dan jika ditambahkan dengan akumulasi suara partai ia beroleh 119 ribu lebih. Khairul Saleh adalah satu dari dua orang pendatang baru di perebutan kursi DPR RI dapil Kalsel 1 yang mampu bersaing dengan para seniornya, seperti Habib Aboe Bakar Alhabsyi dan Syaifullah Tamliha.
Pernyataan Kahirul Saleh yang begitu eksplisit secara psikologi politik menyampaikan pesan yang tentu bukan pepesan kosong. Sebuah gelagat kejadian 2015 telah ia baca. Kendati ia bagian dari petinggi Partai PAN, tetapi menyiapkan diri sendiri jauh lebih penting.
Terlebih perolehan kursi PAN di DPRD Kalsel tidaklah signifikan. PAN dipastikan tidak bisa mengusung calon sendiri. Belum lagi manuver sang ketua, Muhidin yang cenderung pragmatis dan realistis akan dapat dibaca kemana arah dukungannya kelak berlabuh.
Dengan mengunggah wacana partisipasinya dalam Pilgub mendatang, Sultan muncul sebagai sosok yang siap menghadapi dinamika politik di penghujung penentuan. Dan ini yang jadi pembeda dengan 2015 lalu, dia harus tersingkir dari arena.
Peluang Khairul Saleh yang maju sebagai independen selalu membuka kemungkinan kemungkinan. Tak ada yang tak mungkin dalam kemenangan politik. Apalagi sudah ada beberapa contoh kemenangan pasangan independen di dalam prosesi pilkada.
Namun demikian pencalonan jalur independen tentu cukup berat. Data sebuah survei pilkada 2015 ada 35% parsipasi pasangan calon dari non partai, dan hanya mampu menang di angka 14.4%. Rata-rata calon independen kalah dalam tanding.
Tapi ada yang menang.
Kecermatan menentukan wakil pasangan calon tentu memengaruhi kekuatan. Khairul Saleh mesti mampu mencermati kekurangannya, dan menentukan pilihan calon wakilnya untuk menutupinya.
Jika Khairul Saleh punya potensi lumbung suara di pesisir batang banyu dan benua enam, maka ia harus mampu menambal suara di pesisir pantai bagian tenggara kalsel yang menjadi basis petahana.
Kecermatan mengelaborasi wacana dalam program pemerintahan juga dapat dilakukan, mengingat masa pemerintahan Paman Birin masih miskin terobosan.
Sisi minim prestasi Sahbirin Noor dalam memerintah Kalsel menjadi peluang menjual kafasitas sang Sultan yang berpengalaman di pemerintahan. Kejelian melihat sisi lemah lawan adalah keuntungan yang dapat dilakukan mengambik keuntungan dari lawan.
Jika mencermati visi misi Paman Birin fase 2015 lalu, penantang petahana dapat menjadikan itu sebagai pijakan, bahwa ada satu alasan kehadirannya adalah sebuah solusi yang tidak diragukan.
Tetapi apapun, dinamika pilgub Kalsel 2020 akan penuh dinamika. Namun demikian, Suara Sultan Khairul Saleh yang siap maju bukan tanpa kalkulasi.
Semakin dini rencana diungkapkan semakin mature kesiapan menghadapi segala kemungkinan. Dan ini adalah Tantangan Sang Sultan.(*)
Editor : Amran