Rekam Jejak PKI di Kalimantan Selatan, Sempat Ingin Racuni Pejabat dan Warga HSU

Ilustrasi perkumpulan PKI dan ormasnya (internet)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu sejarah paling kelam di Indonesia. Tragedi itu disebut G30S PKI ketika sekelompok prajurit di bawah kepemimpinan Letkol Untung menyerbu rumah jenderal yang dituduh makar terhadap Presiden Soekarno.

Akibatnya enam jenderal dan satu letnan TNI AD dihabisi secara kejam, bahkan jenazahnya juga dimasukkan ke dalam satu lubang berdiameter 75 centimeter dengan kedalaman 12 meter di kawasan Desa Lubang Buaya.

Hal ini juga yang menjadi awal penyebab penumpasan para anggota atau simpatisan PKI di Indonesia.

Di Kalimantan Selatan diungkapkan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur , PKI juga mendirikan kepengurusannya yang terdiri dari Amar Hanafiah Sekretaris I Comite Daerah Besar (CDB) PKI Banjarmasin. Suwiyo sebagai Pimpinan SOBSI Kalimantan Selatan Pengurus CDB PKI dan didapati tokoh lainnya yakni S.A. Sofjan yang menjabat Sekretaris CDB PKI Kalimantan Selatan.

“Amar Hanafiah diadili oleh Mahmillub Banjarmasin pada tanggal 14 Agustus 1967, dia dijatuhi vonis hukuman mati. Kemudian Suwiyo diadili Pengadilan Negeri Banjarmasin, tanggal 9 September 1970 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup,” kata Mansyur (30/9/2022).

Mansyur juga mengungkapkan, jika PKI di Kalimantan Selatan, memiliki beberapa ormas di bawah naungannya, seperti Serbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia), Serba (Serikat Buruh Daerah Autonom) bagi pegawai pemerintah daerah, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan berbagai ormas lainnya.

Namun, pada tahun 1959 sejak ditunjuknya Hasan Basry sebagai Panglima Daerag Militer X Lambung mangkurat Kehadiran PKI dan ormasnya di Banjarmasin dinilai menimbulkan gejolak yang menyebabkan suasana politik kian memanas.

Sehingga Hasan Basry mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI beserta ormasnya pada tanggal 22 Agustus 1960.

“Keluarnya surat itu sempat ditegur oleh Presiden Soekarno. Namun, Hasan Basry sebagai kepala Penguasa Perang Daerah Kalsel tidak menaati teguran presiden. Pembekuan PKI dan ormasnya diikuti oleh daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Tiga Selatan,” ungkap Mansyur.

Baca Juga : Sholat Tahajud Yuk, Jenderal AH Nasution Lolos Pembunuhan PKI dari Sholat Ini

Baca Juga : Kado Harjad Banjarmasin dan Rakerwil APEKSI, Ibnu Sina Cabut Gugatan Perpindahan Ibukota Kalsel

Hingga 6 Oktober 1965, berbagai parpol dan ormas serta sekber Golkar mengadakan pertemuan dan menuntut agar PKI dibubarkan karena PKI dan ormas-ormasnya adalah dalang dan pelaku Gerakan 30 September.

“Untuk memenuhi tuntutan rakyat Kalimantan Selatan, Pepelrada Kalimantan Selatan pada tanggal 16 Desember 1965 mengeluarkan keputusan bahwa PKI dan ormas-ormasnya dinyatakan bubar di seluruh daerah tingkat I Kalimantan Selatan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, kekejaman PKI kata Mansyur juga terjadi di Amuntai atau Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terjadi pada tahun 1965.

Kekejaman PKI di Amuntai terjadi melalui ormasnya Serbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) Cabang Kewedanaan Tabalong di Tanjung yang menuntut perusahaan perkebunan karet Hayup dan Tabalong Kiwa, milik pemodal Inggris sejak sebelum perang dunia kedua, agar meningkatkan upah buruh mereka.

Aksi yang disertai tindak kekerasan itu, diamankan oleh Kepolisian Tanjung. Dari peristiwa itu, PKI memfitnah Kepolisian Tanjung, telah melakukan penyiksaan terhadap salah seorang pengurus Serbupri bernama A Talib sehingga menderita gegar otak dan dirawat di rumah sakit.

“Apabila ada kunjungan tamu penting, seperti pejabat atau tokoh masyarakat A Talib yang bergaya tidak melihat itu, berteriak-teriak bagaikan orang gila,” ujarnya.

PKI, kata Mansyur juga punya ormas Serba (Serikat Buruh Daerah Autonom) bagi pegawai pemerintah daerah, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan berbagai ormas lainnya yang berada di bawah naungannya.

Dalam kegiatan politiknya, PKI senantiasa mencetuskan bermacam semboyan yang kemudian dipopulerkan oleh seluruh anggota dan simpatisannya di seluruh Indonesia.

“Sekitar enam bulan sebelum peristiwa 30 September 1965, semboyan mereka adalah Tunggu Ranggal Mainnya. Suatu teror politik yang sangat menyeramkan,” ujar Mansyur.

Puncak teror itu adalah peristiwa 30 September 1965 yang menyebabkan gugurnya putra terbaik Indonesia tujuh jenderal yang dibunuh secara keji dan kejam serta dimasukkan ke Lubang Buaya di Jakarta.

Pada wilayah HSU, mereka memanfaatkan momen penutupan pekan pemuda pertama se Kalsel yang berlangsung di Amuntai. Pekan pemuda yang menyelenggarakan berbagai pertandingan, festival, olahraga, kesenian dan budaya tersebut ditutup oleh Wakil Gubernur Kalsel H Imansyah. Selama kegiatan, penulis dan beberapa orang kawan dari Kandeppen Kabupaten HSU, mendapat kepercayaan dari panitia pelaksanaan untuk menerbitkan buletin setiap hari di samping kegiatan rutin penulis sebagai koresponden surat kabar dan RRI.

Ketika menyelesaikan buletin terakhir, yang akan disebarkan kepada para undangan resepsi penutupan itu, pihaknya harus bekerja ekstra keras. Karena suasana panas, dari pojok sekretariat kantor Bupati HSU yang menghadap lapangan tempat upacara (kini kantor Kodim 1001 HSU Amuntai) mereka minta air teh yang disediakan ibu-ibu untuk para undangan.

“Ternyata ada anggota khusus Gerwani/PKI dari Banjarmasin yang memasukkan sejenis racun ke dalam tempat teh tersebut,” jelasnya.

Meskipun begitu, kejadian tersebut tidak menimbulkan korban. Sebab, air teh yang tercemar racun itu dituang ke dalam gelas dan siap untuk dibagikan, sempat diketahui oleh seorang yang merasa curiga karena di permukaan gelas-gelas tadi berbuih.

“Air teh langsung ditumpahkan ke jendela, diganti dengan yang baru dan bersih. sehingga warga Kalsel dan ratusan orang lainnya selamat dari bahaya racun atas perbuatan jahat PKI tersebut,” tuturnya.

“Entah apa yang terjadi, seandainya racun di gelas-gelas tersebut sempat diminum para undangan,” timpanya.

Sejak tanggal 1 Oktober 1965, ABRI sebagai aparat pemerintah melakukan penangkapan terhadap anggota PKI dan ormas-ormasnya di seluruh Indonesia.

“Termasuk yang berada di daerah HSU dan Tabalong,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi