BANJARMASIN, klikkalsel.com – Tradisi mandi tujuh bulan dalam budaya masyarakat Banjar sudah menjadi hal biasa. Namun, bagaimana dalam pandangan Islam?
Salah satunya, prosesi mandi yang dilakukan di depan rumah tanpa penghalang, bahkan sebagian memperlihatkan aurat yang seharusnya dijaga menurut ajaran Islam.
Ustadz H. Adi Rahman mengingatkan, meskipun adat merupakan bagian dari budaya yang dijunjung tinggi, tetap harus tunduk pada syariat Islam bagi yang beragama Islam dan segala bentuk tradisi yang bertentangan dengan syariat harus ditinggalkan atau disesuaikan.
“Syariat adalah yang utama. Adat boleh dijalankan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dalam pelaksanaan mandi tujuh bulan terlihat aurat jelas melanggar hukum Islam,” ujar Ustadz, Rabu (21/5/2025).
Baca Juga Bank Mandiri Taspen dan IFG Life Jalin Kerja Sama Asuransi Jiwa Kredit
Menurutnya, mandi di tempat terbuka tanpa penghalang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menjaga kehormatan dan aurat, khususnya bagi perempuan.
“Karena dalam Islam juga diajarkan adab mandi,” imbuhnya.
Meskipun demikian, agar prosesi adat tersebut tetap bisa dilaksanakan alangkah baiknya dengan menambahkan tirai atau dinding penghalang yang layak.
“Kalau mau tetap menjalankan adat mandi tujuh bulan, silakan. Tapi harus disesuaikan. Misalnya mandi di tempat tertutup atau diberi tirai. Jangan sampai aurat terlihat,” tegasnya.
Tradisi mandi tujuh bulan merupakan budaya turun-temurun yang dipercaya membawa keberkahan bagi ibu hamil dan calon bayi. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit yang abai terhadap aspek syariat Islam.
Ustadz Adi Rahman mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam memelihara adat.
“Islam tidak menolak budaya, selama budaya itu tidak bertentangan dengan akidah dan syariat. Kita harus pandai memilah mana yang boleh dilestarikan dan mana yang harus ditinggalkan atau diperbaiki,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi





