Sementara Antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Nasrullah mengaku sangat kehilangan dengan meninggalnya pria dengan sapaan Amang Jamhar itu. Disamping itu, ia khawatir regenerasi seniman Lamut terancam putus lantaran minimnya regenerasi.
Ia menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan Balamut kurang diminati oleh generasi muda, sehingga keinginan untuk menjadi seniman Lamut sangat minim.
“Ini dikarenakan tingkat kepopuleran seni Lamut yang kurang. Tidak seperti kesenian lain seperti Mamanda, Madihin, Wayang Banjar dan kesenian lain,” katanya.
Baca juga : Sang Maestro Ingin Balamut Tetap Membudaya di Tanah Banjar
Selain itu, durasi pementasan seni Balamut itu juga menjadi problem tersendiri di era modern. Pasalnya Balamut memerlukan waktu yang panjang dalam membawakan materi pementasannya.
Menurutnya, di era modern sekarang, durasi yang panjang kemungkinan akan menjadi hal yang membosankan. Ditambah yang membawakan Lamut adalah seniman yang sudah berumur atau tua. Sehingga hanya komunitas tertentu saja yang menjadi peminat dan mendengarkannya.
“Karena itulah Lamut kurang diminati oleh generasi milenial, dan lama-kelamaan kehilangan daya tarik,” ucapnya.
Tidak seperti seniman Madihin yang waktunya bisa disesuaikan untuk diundang dalam acara-acara resmi. Sedangkan Lamut memerlukan waktu pementasan yang panjang jadi orang berpikir dua kali untuk mengundang dalam sebuah pementasan atau acara resmi.
Ditambahkanya pula, ketidak populerannya seni Lamut itu diperparah dengan intensitas pementasan yang sangat minim atau jarang dilakukan.
Baca halaman selanjutnya..