Jejak PKI di Kalimantan Selatan. Masa Keemasan di Bumi Antasari

Ilustrasi Perkumpulan atau partai politik tahun 1960-an (internet/Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menorehkan babak penting dalam sejarah politik Kalimantan Selatan. Pada era 1950-an hingga awal 1960-an, partai berlambang palu arit ini tumbuh subur, bahkan menjadi kekuatan politik ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Menurut sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Mansyur, PKI membangun struktur partai yang rapi, mulai dari Comite Daerah Besar (CDB) di tingkat provinsi, Comite Seksi (CS) di kabupaten/kota, Comite Subseksi (CSS) di kecamatan, hingga Comite Resort (CR) di desa.

Dalam Pemilu 1955, PKI meraih 9.574 suara untuk parlemen dan 10.169 suara untuk konstituante. Angka itu melonjak drastis pada pemilihan DPRD berikutnya, menjadi 22.618 suara.

“Dari tidak punya kursi, PKI kemudian mendapat delapan kursi DPRD. Separuh dari 849 desa di Kalsel sudah ada comite PKI. Itu bukti perkembangan yang luar biasa,” kata Mansyur, Senin (29/5/2025).

Organisasi sayap partai pun tak kalah besar. SOBSI (Serikat Buruh) menguasai lebih dari separuh buruh di Kalsel. Ada juga Pemuda Rakyat, Gerwani, BTI (Barisan Tani Indonesia), hingga Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang merangkul seniman.

“PKI berhasil menjadikan dirinya rumah besar bagi berbagai elemen rakyat,” ujarnya.

Baca Juga : Sejarah Nama Banjarmasih, Bandarmasih dan Sekarang Dikenal Dengan Banjarmasin

Baca Juga : Hasnuryadi Sulaiman Apresiasi Capaian Prestasi Tim Atlet Panjat Tebing Kalsel di POMNAS XIX 2025

Meski tampak berjaya, geliat PKI tidak diterima semua kalangan. Pada 22 Agustus 1960, Kolonel Hasan Basry, Panglima Kodam X Lambung Mangkurat, mengeluarkan surat pembekuan aktivitas PKI dan ormas-ormasnya di Kalsel.

Langkah berani ini langsung ditegur Presiden Soekarno, namun Hasan Basry tidak goyah. Keputusan serupa kemudian diikuti Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, sehingga dikenal dalam sejarah sebagai Tiga Selatan”.

“Langkah Hasan Basry ini adalah perlawanan awal terhadap ekspansi PKI di daerah. Itu titik balik penting dalam sejarah politik lokal,” jelas Mansyur.

Puncaknya terjadi pada 1 Oktober 1965, ketika pecah peristiwa G30S. Brigjen Amir Machmud, Pangdam X, memilih sikap hati-hati. Melalui RRI Banjarmasin, ia menyerukan kesetiaan pada Presiden Soekarno sekaligus meminta masyarakat tetap tenang.

Sikap ini membuat Kalimantan Selatan relatif aman. Tidak ada pembantaian massal seperti di Jawa dan Bali.

“NU yang dipimpin tokoh nasional asal Amuntai, KH Idham Chalid, juga berperan besar menjaga keseimbangan kala itu,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi