Cerita Dibalik Nama Pulau Bromo dan Kejayaan PT Austral Bina

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di bagian Selatan Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), ada sebuah pulau yang dinamakan mirip dengan nama gunung di Jawa Timur yaitu Bromo.

Pulau Bromo yang diapit Sungai Barito dan Sungai Martapura, merupakan salah satu pulau kecil yang tidak cukup akrab didengar dan diketahui oleh warga Banjarmasin. Padahal Pulau Bromo sudah ada lebih dari 30 tahun.

Secara administrasi Pulau Bromo merupakan pulau delta yang mempertemukan antara Sungai Mantuil dan Sungai Barito masuk dalam Kelurahan Mantuil Kecamatan Banjarmasin Selatan Kota Banjarmasin.

Dikatakan salah satu warga asli Arbainah (52) Pulau Bromo dahulunya merupakan kawasan industri kayu dari PT Austral Byna Plywood. Perusahaan yang bergerak pada industri kayu tersbebut cukup lama beroperasi di Pulau Bromo dan pada akhirnya perusahaan tersebut ditutup.

“Saat ini yang tertinggal adalah bangunan dan mesin-mesin yang terbengkalai,” ungkapnya, Kamis (32/12/2020)

Arbainah yang juga merupakan istri ketua RT 5 menyebutkan, nama pulau Bromo ini berasal dari mulut ke mulut, yang dulunya ada sebuah gudang minyak Hock Leng dekat teluk bromo.

“ujar nenek saya seperti itu, dan neneknya meninggal pada usia 125 tahun pada tahun 1999,” tuturnya.

Menurut data penduduk Pulau Bromo, memiliki 4 Rukun Tetangga (RT) dan 1 RW. Selain itu, Warga Pulau Bromo terdapat dengan beragam suku dan budaya. Mulai suku Banjar, Jawa, Dayak dan Bugis. Dengan mayoritas Kepercayaan yang dipeluk oleh warga masyarakat Pulau Bromo yaitu islam

Masih dalam cerita Arbainah, ia mengatakan, warga yang menetap di Pulau Bromo dahulunya bermigrasi untuk bekerja di industri kayu PT Austral Byna Plywood.

“Dulunya Perusahaan tersebut cukup besar dan memiliki banyak karyawan,” sebutnya.

Namun, karena perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi, maka para pekerjanya yang tetap menetap di Pulau Bromo mencari pekerjaan lain, mulai dari kuli bangunan, buruh, petani, nelayan, pedagang dan pekerja serabutan.

Disamping itu, Muhammad Habibi (34) yang merupakan salah satu warga asli juga mengatakan, Pulau Bromo memiliki fasilitas pendidikan seperti 1 Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) dan 1 Madrasah.

“Fasilitas pendidikan itu merupakan fasilitas peninggalan dari PT Austral Byna Plywood,” kata Habibi bedasarkan cerita dari Almarhum orangtuanya.

Ditambahkanya, pada masa kejayaan perusahaan kayu tersebut memiliki banyak fasilitas-fasilitas pendukung yang bersifat kemasyarakatan, seperti tempat ibadah, lapangan olahraga/bola, dermaga, kesehatan dan rumah-rumah (mess) pekerja.

Seiring zaman, fasilitas yang masih berdiri dan dapat digunakan oleh warga setempat adalah fasilitas pendidikan dan tempat ibadah.

Untuk mencapai Pulau Bromo kini sudah terhitung mudah dengan dibagunya Jembatan Pulau Bromo menjadi akses penghubung.

Sebelum menggunakan jembatan, warga menggunakan transportasi sungai, yakni jalur Sungai Mantuil dengan waktu penyeberangan sekitar 5-7 menit.

Kapal penyeberangan yang mengangkut warga dan barang bawaan tersebut, juga mengangkut kendaraan roda dua.

“Kapal penyebrangan ini dikelola oleh masyarakat setempat dan bukan merupakan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah,” terang Habibi.

Dari pantauan di lapangan, kapal tersebut jauh dari standar (SOP) keamanan berlayar. Sehingga tidak jarang ada penumpang kapal yang terjatuh ke sungai. Ditambah Kondisi dermaga penyeberangan juga jauh dari standar layak dan aman. Pasalnya hanya berbahankan papan-papan yang di jejer.

Adapun beberapa akses jalan di Pulau Bromo yang dulunya masih berupa titian bersusunkan papan, kini telah ditingkatkan menjadi titian beton.

Di bagian dermaga Pulau Bromo nampak pemandangan pasar dengan lapak-lapak pedagang yang kosong.

Pulau Bromo, susunan rumah-rumah yang terbuat dari kayu di bantaran sungai menjadi pemandangan saat berada di atas kapal penyeberangan.(airlangga)

Editor : Amran

Tinggalkan Balasan