Bijak Bermedia Sosial, Afif Khalid: Sekali Sebar, Bisa Jadi Masalah Hukum

Dekan Fakultas Hukum Uniska, Afif Khalid

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Ramainya video viral seorang pria yang diduga sengaja menabrakkan motornya ke mobil di Banjarmasin beberapa waktu lalu menjadi perbincangan hangat di jagat maya.

Dalam narasi yang tersebar, pria itu disebut melakukan aksinya demi mendapatkan ganti rugi. Namun hasil penyelidikan Polsek Banjarmasin Timur justru mengungkap fakta sebaliknya.

Pria itu hanya ingin menghentikan mobil yang dikendarai mantan istrinya karena ingin bertemu dua anaknya yang sudah lama tak dijumpai.

Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana opini publik dapat terbentuk hanya dari potongan video tanpa konteks yang jelas. Di sinilah, kata para pakar hukum, pentingnya kebijaksanaan dalam menggunakan media sosial.

Akademisi hukum dari Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari, Afif Khalid menegaskan, penyebaran berita bohong (hoaks) bukan sekadar kesalahan moral, tetapi juga bisa menjadi pelanggaran pidana.

“Ketika berita bohong disebar melalui dunia maya, seolah tak ada yang melihat. Padahal seluruh dunia bisa melihat. Bila ada yang dirugikan, laporan hukumnya bisa diproses,” ujar Afif, Kamis (13/11/2025).

Menurutnya, masyarakat sering kali menyepelekan tindakan membagikan atau menyebarkan konten yang belum jelas kebenarannya. Padahal, di mata hukum, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai penyebaran berita bohong sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Undang-undang jelas menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dapat dipidana hingga enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar,” tegasnya.

Baca Juga : Beredar Hoaks Sengaja Tabrakan Diri ke Mobil di Banjarmasin, Ketua PWI Kalsel: Rendahnya Literasi dan Etika Digital

Baca Juga : Viral Video Dugaan Sengaja Tabrakan Diri Modus Minta Uang, Ternyata Permasalahan Keluarga: Kangen Anak

Selain aspek hukum, penyebaran hoaks juga mencerminkan rendahnya kesadaran etika dalam bermedia sosial. Afif menilai, ruang digital seharusnya digunakan untuk membangun literasi dan komunikasi yang sehat, bukan menjadi ajang menyebar fitnah atau opini menyesatkan.

“Setiap orang punya tanggung jawab moral sebelum menekan tombol bagikan. Etika digital menuntut kita untuk jujur dan berhati-hati, karena sekali tersebar, dampaknya bisa sangat luas,” jelasnya.

Menurutnya, penyebaran hoaks sering kali muncul karena dorongan emosi, sensasi, atau keinginan untuk cepat viral tanpa mempertimbangkan akibat hukum dan sosialnya.

Padahal, tindakan semacam itu dapat mencederai nama baik seseorang, menimbulkan keresahan, bahkan memicu konflik di masyarakat.

Afif juga mengingatkan, bahaya hoaks dari sisi moral dan spiritual. Dalam Islam, katanya, menyebarkan berita bohong termasuk dosa besar yang bisa membuat seseorang kehilangan seluruh amal baiknya.

“Banyak orang rajin sholat, puasa, dan berzakat, tapi pahalanya habis karena dosa menggunjing. Dosa orang yang difitnah justru berpindah kepadanya. Itulah yang disebut bangkrut di akhirat,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa literasi digital bukan hanya soal kecakapan teknologi, tetapi juga tentang menjaga lisan dan jari agar tidak menyebarkan keburukan.

“Setiap postingan adalah tanggung jawab. Dunia maya tidak mengenal ruang privat semua bisa melihat dan menilai,” imbuhnya.

Lebih lanjut, kata Afif pelaku penyebar hoaks, meski dengan alasan “iseng”, tetap dapat diproses hukum.

“Ancaman pidana maksimal enam tahun dan denda hingga Rp 1 miliar bukan main-main. Kami bekerja sama dengan Kominfo dan operator untuk menelusuri sumber penyebar hoaks,” ungkapnya.

Ia mengingatkan bahwa setiap unggahan digital meninggalkan jejak elektronik yang bisa dilacak. Karena itu, kehati-hatian menjadi kunci agar tidak terjerat hukum hanya karena tindakan impulsif di media sosial.

Afif Khalid menegaskan, upaya penegakan hukum terhadap penyebaran hoaks harus dibarengi dengan peningkatan literasi digital masyarakat.

Masyarakat perlu memahami cara memverifikasi informasi, mengenali sumber yang kredibel, serta menahan diri dari keinginan membagikan berita tanpa konfirmasi.

“Tanggung jawab utama ada di tangan pengguna. Regulasi tidak akan efektif tanpa kesadaran individu. Jadilah pengguna media sosial yang cerdas dan beretika,” tuturnya.

Kasus viral di Banjarmasin menjadi cerminan betapa cepatnya informasi bisa salah dimaknai dan disebarkan tanpa konteks. Jika tidak berhati-hati, satu klik bagikan dapat berubah menjadi jerat hukum dan dosa sosial.

Sebagaimana pesan Afif Khalid, “Bijaklah sebelum membagikan. Dunia maya adalah cermin diri. Gunakan media sosial untuk kebaikan, bukan untuk menyesatkan.” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi