Tambang Emas “Anak Radja” Paramasan: Jejak Kejayaan di Pegunungan Meratus

Peta era Hindia Belanda yang menggambarkan wilayah Paramasan, berdasarkan peta survei Dinas Topografi Hindia Belanda (Topographische Dienst) tahun 1926. (Sumber: Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, Zuid en Oost Borneo, Blad 15/Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di balik hijaunya Pegunungan Meratus, Kecamatan Paramasan, Kabupaten Banjar, menyimpan sejarah panjang tentang kejayaan tambang emas yang dikenal dengan nama Anak Radja.

Diungkapkan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin Mansyur, wilayah peramasan itu bukan hanya saksi kisah para Datu dan tokoh adat, tetapi juga bagian penting dari catatan kolonial Belanda dan perjuangan rakyat dalam Perang Banjar.

“Paramasan sempat menjadi sorotan nasional pada 2003–2008 akibat sengketa batas antara Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Bumbu. Konflik itu bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi sebelum tuntas,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).

Kini, Paramasan resmi menjadi kecamatan sendiri, terdiri dari Desa Paramasan Atas, Paramasan Bawah, Angkipih, dan Remo.

Menurut cerita rakyat Dayak Meratus, kata Mansyur, Paramasan sudah ada sejak zaman para Datu. Salah satu legenda menyebut dua bersaudara menebang pohon ulin yang tumbang ke air terjun. Serpihan kayu itu berubah menjadi emas, menyebar dari hulu hingga hilir.

“Dari kisah ini lahir nama Paramasan, gabungan kata par (emas) dan amas-an (tempat emas),” jelasnya.

Mansyur juga mengungkapkan, versi lain datang dari penuturan Damang Umuh, Balian Balai Induk Paramasan, yang mengaitkan silsilah orang Meratus dengan tokoh Datu Ayuh, leluhur yang menurunkan garis adat hingga ke generasi sekarang.

“Catatan sejarah menyebut ada 19 Datu yang pernah memimpin Paramasan, di antaranya Datu Wangga, Datu Mahadung, hingga Datu Madaang. Pada masa kolonial, kepemimpinan dipegang para Tamanggung seperti Pang Mitir, Rantai, dan Raksa, sebelum akhirnya beralih ke para Pambakal,” ungkapnya.

“Struktur kepemimpinan Paramasan ini menunjukkan kesinambungan antara sistem adat dan pengaruh kolonial. Para Datu menjaga tradisi, sementara Tamanggung dan Pambakal menyesuaikan dengan sistem pemerintahan luar,” sambungnya.

Pegunungan Meratus tahun 1920 an, (sumber KITLV/Mansyur)

Baca Juga : Pesona Kawasan Geopark Meratus Bikin Kagum Peserta Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia

Baca Juga : Kekayaan Alam Kalsel Diakui Dunia, Gubernur Kalsel H. Muhidin Terima Sertifikat UNESCO Global Geopark Meratus dari UNESCO di Paris

Sebagai penghormatan, pada 29 Agustus 2006 dibangun Hampatung atau Tugu Adat Dayak Meratus Paramasan di perbatasan Banjar dan Tanah Bumbu.

Paramasan juga tercatat dalam Perang Banjar (1859–1863). Pangeran Hidayatullah bermukim di wilayah ini, sementara Demang Lehman menjadikan Paramasan Atas sebagai markas.

Tokoh Bukit seperti Buko Daut, Dulah, dan Pu Said membantu menghadang patroli Belanda di jalur strategis Munggu Tayur sampai Mataraman.

“Peran orang Bukit di Paramasan sangat vital dalam mendukung logistik dan medan gerilya. Wilayah pegunungan memberi keuntungan taktis melawan pasukan kolonial,” jelas Mansyur.

Lebih lanjut, Catatan tertulis tertua tentang Paramasan berasal dari pejabat Belanda W\.C. Lemei pada 12 Oktober 1909, berjudul Beschrijving van het Landschap Peramasan.

Dalam dokumen yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen itu, Lemei menulis bahwa Paramasan berarti “tanah tempat menemukan emas” dan luasnya mencapai 5.000 hektar.

Di masa Kesultanan Banjar, wilayah Paramasan jauh lebih luas, mencakup Peramasan Sampanahan, Peramasan Alai, hingga sebagian Amandit.

Seorang Tumenggung di Paramasan berada di bawah Lelawangan di Kendangan yang memungut pajak emas bagi pejabat apanase kerajaan termasuk Pangeran Hidayat. Salah satu sumber emas terkenal adalah tambang Anak Radja.

“Tambang Anak Radja ini simbol kekuatan ekonomi kerajaan. Pajak emas yang dihasilkan menjadi sumber penting bagi kekuasaan Banjar, sekaligus membuat Paramasan punya posisi strategis di mata kolonial,” ujar Mansyur.

Kini, meski tambang emasnya tinggal cerita, Paramasan tetap menjadi warisan berharga, baik bagi sejarah Kalimantan maupun identitas masyarakat Dayak Meratus.

“Kisah Anak Radja menjadi pengingat bahwa Pegunungan Meratus bukan sekadar bentang alam, melainkan panggung sejarah emas yang pernah berkilau,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi