BANJARMASIN, klikkalsel.com- Aksi unjuk rasa mahasiswa dari BEM se Kalsel dan DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Jalan Lambung Mangkurat, berlanjut audiensi di dalam Kantor DPRD Kalsel, Kamis (28/11/2019) sore.
Dalam pertemuan yang membahas penolakan iuran tarif BPJS Kesehatan, mahasiswa menganalogikan DPRD seperti kantor pos.
Bertempat di lantai 4 gedung DPRD Provinsi Kalsel, pertemuan sempat berlangsung alot dan penuh emosi. Saat diskusi penyampaian aspirasi dari perwakilan pengunjuk rasa BEM sek Kalsel dan FSPMI terhadap dua anggota DPRD.
Demonstran menyampaikan aspirasi penolakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dianggap sangat membebani masyarakat.
Mereka menuntut agar DPRD Kalsel mendesak pemerintah untuk mengevaluasi defisitnya BPJS Kesehatan sehingga memiliki tunggakan kepada sejumlah rumah sakit.
Ada tujuh tuntutan yang mereka lontarkan kepada wakil rakyat di gedung Rumah Banjar tersebut. Pertama penolakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang pada Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
Kedua, menuntut pemerintah untuk meninjau kembali usulan peningkatan premi peserta BPJS Kesehatan 100 persen sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan menjalankan amanat UUD 1945.
“Bahwa setiap warga negara harus diberikan perlindungan dan pelayanan kesehatan” tegas Ketua BEM se Kalsel, Ghulam Reza.
Ketiga, lanjut Reza, BEM se Kalsel menuntut pemerintah untuk mengelola sistem program jaminan kesehatan nasional secara baik. Tegasnya, harus berpihak kepada rakyat sesuai dengan Bab II pasal 2 UU No 36 tahun 2009 tentang sistem dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Keempat, mahasiswa mendesak pemerintah untuk mencari jalan lain, persoalan menanggulangi defisit dana jaminan sosial (DJS) kesehatan.
Kelima, mereka menuntut pemerintah menghadirkan sistem dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai sesuai yang tertuang dalam UU No. 36 tahun 2009.
Keenam, pemerintah dituntut serius dalam meningkatkan taraf derajat kesehatan masyarakat dengan upaya promotif dan preventif secara masif dan sistematis.
Tuntutan ketujuh, pernyataan sikap BEM se Kalsel menegaskan apabila dalam waktu satu minggu terhitung dari Kamis (28/11/2019), maka pihaknya akan meminta hasil atas sikap tersebut.
“Iya, mengenai hal itu apabila nanti sudah tiba waktunya, maka akan kami follow up lagi bagaimana pernyataan sikap dari anggota dewan,” tegas Reza.
Sementara itu, Reza menganalogikan DPRD Kalsel saat ini hanya seperti ‘Kantor Pos’. Kiasan itu, disematkan kepada wakil rakyat sebab tak dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat hingga merubah keputusan pemerintah yang dirasa merugikan rakyat.
“Makanya itu yang membuat teman-teman pun tadi sempat mengkritik, sikap anggota dewan seperti tukang pos.
Padahal harapan kami sederhana dan sangat umum, bisa nggak teman-teman dari dewan memperjuangkan dan merealisasikan harapan masyarakat itu, misalnya dalam hal ini penolakan kenaikan BPJS, dan kalau perlu gratis, ” cetusnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi Kalsel, Firman Yosi menanggapi dengan kepala dingin kiasan ‘Tukang Pos” terhadap pihaknya yang mengibaratkan seperti ‘tukang pos’. Firman mengaku tidak keberatan dengan penyematan istilah tersebut.
Bagi Firman, ‘tugas pos’ dalam konteks sebagai wakil rakyat yaitu menyampaikan aspirasi masyarakat ke pusat. Urusan aspirasi dipenuhi atau tidak, maka pihaknya DPRD Kalsel menyerahkan dengan rekan-rekan di DPR RI, melalui aspirasi yang disalurkan di daerah.
“Karena kadang memang ada hal-hal yang tidak bisa pihaknya dalam hal DPRD Provinsi Kalsel sikapi sendiri. Misalnya dalam hal ini soal kenaikan BPJS, tentu DPRD provinsi tidak punya kewenangan sama sekali untuk mencampuri urusan kenaikan BPJS. Sehingga tentu kami pun akan bersifat sebagai tukang pos yang menyampaikan aspirasi baik itu Kementerian maupun ke DPR RI, ” pungkasnya.(rizqon)





