Banjar  

Tambang Emas Paramasan: Jejak Kekayaan Kesultanan Banjar yang Terlupakan

Lokasi Wilayah Kecamatan Paramasan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Sumber: Humas Pemkab Banjar. /Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Mungkin tidak banyak yang tahu, wilayah Paramasan di pegunungan Kabupaten Banjar pernah menjadi salah satu pusat tambang emas yang paling berharga di era Kesultanan Banjar.

Catatan sejarah menyebutkan, dari kawasan ini mengalir emas, intan, dan berbagai hasil bumi yang menjadi sumber ekonomi penting bagi keluarga kerajaan.

Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur mengungkapkan, Paramasan pada masa Sultan Adam hingga Tamjidillah (1826–1860) bukan sekadar daerah biasa, melainkan tanah apanase.

“Yakni wilayah khusus yang diberikan sultan kepada kerabat kerajaan,” ujarnya, Sabtu (23/8/2025).

Waktu itu, kata Mansur, Paramasan dikenal dengan hasil tambang emas yang sangat melimpah. Dalam setahun bisa menghasilkan sekitar 40 tail emas.

“Nilainya kala itu setara f 75 hingga f 3000, jumlah yang sangat besar pada abad ke-19,” jelas Mansyur.

Mansyur juga memaparkan, dalam catatan sejarah terdapat tiga wilayah Paramasan yang memiliki pemilik berbeda.

Paramasan menjadi apanase Sultan Muda Tamjid, cucu Sultan Adam sekaligus Putera Mahkota.

Paramasan Amandit diberikan kepada Pangeran Aria Kasuma. Paramasan Alai menjadi milik Pangeran Hidayatullah dan Ratu Syarif Kusin Darmakasoema.

“Hidayatullah bahkan punya beberapa apanase lain, seperti Karang Intan dan Margasari, dengan penghasilan mencapai f 5.000 per tahun. Sementara wilayah Basung dikenal sebagai penghasil intan,” tutur Mansyur.

Baca Juga : Tambang Emas “Anak Radja” Paramasan: Jejak Kejayaan di Pegunungan Meratus

Baca Juga : Duh! PHK di Kalsel Tembus 1.008 Kasus, Didominasi dari Sektor Pertambangan

Lebih jauh, Mansyur menjelaskan bahwa pemilik apanase berhak menikmati berbagai hasil alam dari wilayahnya, mulai dari pajak poll-tax, zakat, hingga komoditas seperti madu, minyak kemiri, rotan, hingga ikan sungai.

Namun yang paling menguntungkan adalah hak monopoli membeli emas dan intan.

“Setiap intan seberat empat karat yang ditemukan rakyat, wajib dijual kepada pemilik apanase atau raja. Bahkan, masyarakat juga harus memberikan kerja wajib sebulan dalam setahun, atau menebusnya dengan membayar f 7 per orang,” terangnya.

Akan tetapi, kejayaan tanah apanase itu tidak berlangsung lama. Pasca-Perang Banjar 1863, pemerintah kolonial Belanda menghapus sejumlah apanase, termasuk milik Ratu Syarif Kusin Darmakasoema.

Hal itu tercatat dalam Resolusi Komisaris Belanda nomor 356 yang dikeluarkan pada 22 Januari 1863.

Menurut Mansyur, keputusan itu menandai perubahan besar dalam struktur kepemilikan tanah di Kesultanan Banjar.

“Belanda berusaha memutus jalur kekuasaan ekonomi keluarga sultan agar tidak lagi punya sumber daya yang bisa digunakan untuk perlawanan,” katanya.

Meski kini Paramasan lebih dikenal sebagai daerah pedalaman dengan kekayaan alam dan potensi wisata, jejak sejarahnya masih menyimpan cerita tentang kejayaan tambang emas yang pernah menghidupi Kesultanan Banjar.

“Sejarah Paramasan menunjukkan bagaimana hubungan antara kekuasaan, ekonomi, dan sumber daya alam di masa lalu. Sayangnya, banyak dari cerita ini belum dikenal luas oleh masyarakat kita sekarang,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi