BANJARMASIN, klikkalsel.com – Jika India memiliki Taj Mahal sebagai monumen cinta, Banjarmasin pun menyimpan kisah serupa melalui Rumah Banjar Bubungan Tinggi yang kini dikenal sebagai Museum Waja Sampai Kaputing (Wasaka).
Bangunan bersejarah di Gang H Andir, Kampung Kenanga Ulu, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara itu bukan sekadar rumah adat, melainkan simbol kasih sayang seorang ayah, saudagar intan Banjar bernama Djalaloedin atau Datu Jalal, kepada putrinya, Kamesah.
Menurut sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, Rumah Bubungan Tinggi tersebut dibangun pada abad ke-19 di tepian Sungai Martapura. Bangunan itu memiliki nilai historis berlapis, mulai dari kisah perdagangan intan lintas kawasan hingga dinamika sosial Kota Banjarmasin dari era kolonial sampai masa kini.
âRumah Bubungan Tinggi ini tidak hanya mencerminkan arsitektur Banjar yang khas, tetapi juga menjadi penanda status sosial dan kisah personal Datu Jalal sebagai saudagar besar pada masanya,â ujar Mansyur, Sabtu (20/12/2025).
Datu Jalal lahir pada akhir abad ke-18 di wilayah Teluk Masjid, kawasan yang kini dikenal sebagai Pasar Lama Banjarmasin.
Kawasan tersebut dinamai Teluk Masjid karena menjadi lokasi awal Masjid Jami Sungai Jingah, sekitar 200 meter dari Sungai Martapura.
âMasjid itu didirikan pada 17 Syawal 1195 Hijriah atau 1777 Masehi, pada masa Kesultanan Banjar di bawah pemerintahan Pangeran Tamjidillah, sebelum akhirnya dipindahkan akibat abrasi sungai,â ungkapnya.
Sebagai pedagang intan, Datu Jalal menjalin jaringan perdagangan hingga ke Singapura. Pada periode akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, Singapura masih berada dalam pengaruh Kesultanan Johor, sebelum kemudian menjadi koloni Inggris pada 1824.
Baca Juga :Â Disdikbud Balangan dan LPPM ULM Banjarmasin Gelar Ekspose Akhir Kajian Pendirian Museum
Baca Juga :Â LPPM ULM Banjarmasin Bersama Disdikbud Balangan Lakukan Penelitian Pendirian Museum Balangan
Jejak pedagang Banjar di Singapura pun cukup kuat, terutama di kawasan Kampong Gelam yang dikenal sebagai pusat perdagangan berlian, seperti Kampong Intan atau Jalan Intan.
âPedagang Banjar seperti Datu Jalal menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan regional. Mereka bukan hanya berdagang, tetapi juga membentuk komunitas dan meninggalkan pengaruh budaya,â jelas Mansyur.
Di Singapura, Datu Jalal disebut bermukim di kawasan Kampung Pocong, wilayah yang diduga tidak jauh dari Kampung Intan. Ayahnya, Saudagar Sulaiman, diketahui memiliki lahan cukup luas di kawasan tersebut.
âMeski menetap lama di Singapura, Datu Jalal memiliki istri di Banjarmasin bernama Hj Asiah, namun perkawinan itu tidak dikaruniai anak,â imbuhnya.
Karena intensitas perniagaan yang membuatnya jarang pulang ke Banjarmasin, Datu Jalal kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan Tionghoa Muslim Singapura bernama Aisyah, yang dikenal sebagai seorang hafiz Al-Qurâan.
Dari perkawinan inilah lahir Kamesah, sosok yang menjadi alasan dibangunnya Rumah Banjar Bubungan Tinggi tersebut.
âPembangunan rumah ini dapat dibaca sebagai simbol cinta dan tanggung jawab Datu Jalal kepada anaknya. Inilah yang membuatnya sering disandingkan dengan kisah Taj Mahal, tentu dalam konteks lokal Banjar,â kata Mansyur.
Kini, rumah berarsitektur Bubungan Tinggi itu beralih fungsi menjadi Museum Wasaka, menyimpan koleksi perjuangan rakyat Kalimantan Selatan pada masa Revolusi Fisik 1945â1949.
Bangunan tersebut menjadi saksi bisu perjalanan panjang Banjarmasin, dari kota sungai yang ramai oleh perdagangan intan hingga pusat perjuangan dan kebudayaan Banjar.
âWasaka bukan hanya museum perjuangan, tetapi juga monumen sosial dan budaya yang menghubungkan kisah cinta keluarga, perdagangan internasional, dan sejarah Banjar,â pungkas Mansyur. (airlangga)
Editor: Abadi





