Sejarah Kelam “Praktik Lahung” di Banjarmasin Pada Masa Kolonial

Sejarah Kelam "Praktik Lahung" di Banjarmasin Pada Masa Kolonial
Ilustrasi tempat prostitusi (internat)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Siapa sangka, di balik julukannya sebagai Kota Seribu Sungai, Banjarmasin menyimpan sejarah kelam dan mengejutkan. Praktik prostitusi atau Lahung sudah berlangsung sejak era kolonial Hindia Belanda.

Hal ini diungkapkan, sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, dari fakta-fakta mengejutkan dalam riset terbarunya berjudul Bilik Cinta Tepian Kuala. Sejarah Kecil Kasus Pelacuran di Kota Seribu Sungai Tahun 1900–1990.

“Penelusuran ini mencoba membuka tabir sejarah sosial yang selama ini jarang disentuh, yakni eksistensi prostitusi di Banjarmasin,” ujarnya, Rabu (30/4/2025).

Menurutnya, Prostitusi itu bukan fenomena baru. Ia selalu hadir dalam berbagai peradaban, dan Banjarmasin bukan pengecualian.

Bahkan, keberadaan praktik prostitusi di Banjarmasin sudah tercatat sejak abad ke-19, pada tahun 1876 pemerintah kolonial Belanda sempat mendirikan rumah sakit khusus untuk pelacur di kota Banjarmasin, sebagai respon atas maraknya penyakit kelamin seperti sifilis.

“Dalam dokumen Javasche Courant edisi 1 Desember 1865, disebutkan bahwa para perempuan penderita penyakit kelamin menerima bantuan makanan dan minyak lampu dengan biaya sebesar perhari,” ungkapnya.

Data dari Arsip Dinas Kesehatan Hindia Belanda menyebutkan, tahun 1870 saja tercatat 5.105 serdadu Belanda menderita Morbi Veneris dan 575 lainnya mengidap sifilis.

“Ini menunjukkan bahwa prostitusi bukan hanya berlangsung, tetapi juga mendapat perhatian resmi dari pemerintah kolonial,” jelas Mansyur.

Baca Juga : Dirayu Menjalin Hubungan Serius, Seorang Pemuda Setubuhi Gadis 15 Tahun

Baca Juga : Oknum Anggota Polres HST Ditembak Anggota BNNP Kalsel, Ada Apa?

Istilah wanita publik atau publieke vrouwen lazim digunakan saat itu, menggantikan istilah modern seperti PSK atau WTS.

Wanita publik di Banjarmasin tak hanya berasal dari kalangan pribumi, tapi juga Eropa, Jepang, dan Cina. Mereka biasa beroperasi di rumah bordil, toko kecil, maupun losmen.

“Salah satu kasus terkenal terjadi pada tahun 1929, ketika dua wanita publik yang sudah bergelar haji, Ramlah dan Linah, terlibat dalam kasus pencurian uang sebesar 400 gulden terhadap seorang pria Tionghoa,” kata Mansyur.

Kasus itu bahkan sampai ke pengadilan Landraad dan berakhir dengan vonis penjara bagi Ramlah dan kaki tangannya. Polisi yang menerima suap turut dipenjara.

“Kasus ini sangat menarik karena menunjukkan kompleksitas sosial saat itu bagaimana praktik pelacuran berkaitan dengan kriminalitas, kekuasaan, bahkan korupsi,” ujar Mansyur.

Dalam perkembangannya, istilah wanita publik perlahan menghilang dan berganti dengan WTS atau PSK. Di masyarakat Banjar, muncul pula istilah Lahung yang berarti pelacur, namun juga bisa berarti buah khas Kalimantan dengan kulit merah dan bau menyengat.

“Penggunaan istilah ‘lahung’ memperlihatkan bagaimana bahasa lokal turut membentuk persepsi sosial terhadap prostitusi,” imbuhnya.

Riset ini menjadi salah satu upaya awal merekonstruksi sejarah sosial Banjarmasin secara jujur dan terbuka. Ia berharap kajian ini membuka ruang dialog tentang realitas sosial yang selama ini dianggap tabu, tapi nyatanya menjadi bagian dari dinamika kota sejak lama.

“Sejarah tidak selalu indah, tapi memahami masa lalu membantu kita menata masa depan,” pungkasnya. (airlangga)

Ediror: Abadi