BANJARMASIN, klikkalsel.com – Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan RUU Penyesuaian Nilai Mata Uang sebagai program strategis periode 2025–2029.
Berhubungan dengan itu, sejarah Indonesia pernah mencatat kebijakan pemotongan nilai uang yang jauh lebih drastis pernah terjadi yang mana diingat dengan peristiwa Gunting Syafruddin pada tahun 1950.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, menilai perbedaan kedua kebijakan ini perlu dipahami masyarakat agar tidak menimbulkan kegaduhan seperti yang terjadi 75 tahun lalu.
“Redenominasi itu hanya penyederhanaan angka. Tidak ada pemotongan nilai, tidak ada hilangnya daya beli. Ini sangat berbeda dengan sanering 1950 yang benar-benar memotong separuh nilai uang,” ujarnya, Rabu (19/11/2025).
Sebelum memasuki peristiwa Gunting Syafruddin, Mansyur menjelaskan bahwa Kalimantan pada awal 1950-an berada dalam situasi politik yang berbeda.
“Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), Kalimantan dibagi menjadi lima negara bagian dalam sistem Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun rakyat Kalimantan Selatan memilih kembali ke NKRI,” tuturnya.
Tuntutan itu direspons pemerintah RIS lewat Keputusan Presiden Nomor 137 pada 4 Maret 1950, yang menyatakan Negara Banjar dibubarkan dan digabungkan dengan Republik Indonesia di Yogyakarta.
Proses ini berlangsung hingga 17 Agustus 1950 saat RIS resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Situasi ekonomi Indonesia saat itu, kata Mansyur sangat buruk. Akibat perang kemerdekaan, infrastruktur hancur, harga barang melambung, dan negara harus menanggung utang warisan Belanda lebih dari US$1,13 miliar.
Dalam Kabinet Hatta sebagai kabinet era RIS, Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara mengambil langkah ekstrem.
Pada 10 Maret 1950, pemerintah memberlakukan kebijakan pengguntingan uang kertas dari pecahan Rp 5 ke atas (uang NICA dan De Javasche Bank).
“Setengah bagian uang masih berlaku, setengahnya lagi ditukar menjadi obligasi yang baru bisa dicairkan 30 tahun kemudian,” jelas Mansyur.
Kebijakan tersebut dirancang untuk menekan jumlah uang beredar, menahan inflasi, dan mengonsolidasi keuangan negara yang hampir kolaps.
Aksi ini terbukti menurunkan inflasi drastis dan membuka jalan terbentuknya Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank.
Namun, menurut Mansyur, dalam sejarah di Kalimantan Selatan saat itu sepenuhnya menggunakan uang NICA, berbeda dengan Jawa dan Sumatra yang memakai ORI.
Ketika pemerintah menyamakan nilai uang NICA dan ORI, orang Kalsel otomatis dirugikan sepuluh kali lipat.
“Ini ibarat tabungan masyarakat langsung tergerus begitu saja. Harga barang tetap mahal, uang makin sedikit. Rakyat benar-benar masuk ke situasi kelangkaan,” katanya.
Data yang dihimpun peneliti menunjukkan harga intan yang menjadi salah satu komoditas utama masyarakat Banjar melonjak drastis.
“Tahun 1950, intan merah jambu 1 karat sama dengan Rp 5.000 sampai Rp 6.000. lalu Tahun 1959 mencapai Rp 15.000 per karat. Kenaikan tiga kali lipat ini mencerminkan tingginya inflasi era 1950-an,” jelasnya.
Meskipun demikian, di pedalaman Kalsel, para pejuang ALRI Divisi IV mendirikan ratusan koperasi sebagai benteng ekonomi rakyat.
Koperasi menjadi pusat pembelian atau penjualan hasil bumi, terutama karet. Bahkan dibentuk Bank Dagang Indonesia NV dipimpin M. Pongoh sebagai upaya membangun kemandirian ekonomi.
Baca Juga : HUT Kalsel ke-75: Dari Gejolak Rakyat, RIS, hingga Lahirnya Provinsi Resmi di 14 Agustus
Namun setelah sistem federal RIS berjalan, seluruh koperasi perjuangan itu dibubarkan. Tahun-tahun setelahnya rumah asap karet lebih dari 800 unit di Hulu Sungai dan 150 unit di Kabupaten Banjar, banyak yang tutup akibat situasi keamanan.
Mansyur menambahkan bahwa masyarakat Banjar lebih memilih menyimpan kekayaan dalam bentuk emas untuk kebutuhan ibadah haji.
“Tradisi menyimpan emas ini sebenarnya bentuk resistensi terhadap ketidakstabilan ekonomi, terutama setelah trauma sanering 1950,” ujarnya.
Jadi, sejarawan ULM itu menegaskan bahwa wacana redenominasi 2025 tidak bisa disamakan dengan Gunting Syafruddin.
Hanya mengurangi digit nominal, nilai riil tidak berubah,tujuannya efisiensi transaksi dan administrasi serta tidak mengurangi daya beli masyarakat
“Kalau Sanering pada tahun 1950 dan 1965 itu terjadi pemotongan nilai uang, daya beli langsung turun, harga barang tidak ikut turun dan dilakukan di tengah inflasi ekstrem,” imbuhnya.
“Redenominasi bukan pemiskinan mendadak. Tidak seperti sanering. Namun perlu edukasi menyeluruh agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi,” sambung Mansyur.
Ia juga mengingatkan bahwa penerapan redenominasi membutuhkan biaya besar bagi pemerintah dan dunia usaha, terutama dalam penyesuaian sistem administrasi.
Jika tidak dipahami masyarakat, pedagang bisa saja salah menerjemahkan harga.
“Kalau seharusnya Rp1.000 berubah jadi Rp1, tapi pedagang tetap menjual Rp1.000, itu justru inflasi seribu kali lipat,” kata Mansyur.
Lebih lanjut, Mansyur menekankan bahwa pengalaman Gunting Syafruddin hanyalah pengingat bahwa kebijakan moneter adalah keputusan sensitif yang bisa mengubah kondisi sosial-ekonomi masyarakat dalam waktu singkat.
“Sejarah mengajarkan bahwa masyarakat harus dilibatkan melalui edukasi yang benar. Trauma masa lalu tidak boleh terulang,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi





