Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Sosial Politik tinggal di Tabalong)
Hiruk pikuk pemilu legislatif pada April 2019 boleh saja berlalu. Beranggapan masyarakat pemilih tak lagi peduli apa yang terjadi setelahnya pun menjadi lumrah. Karena memang begitu. Usai pemilu biasanya masuk kepada fase amnesia. Satu sikap lupa-lupa ingat. Legislator lupa akan janji, masyarakat pun tak kuasa bagaimana janji kampanye dapat ditagih. Pun demikian, janji adalah konteks yang tak perlu ditagih. Karena ia adalah hutang yang mesti diupayakan untuk dibayar dalam medan pengabdian sumpah jabatan. Sederhananya, mereka, legislator yang duduk di tampuk mewakili rakyat adalah sekumpulan manusia-manusia yang tersumpah.
Pada bulan-bulan ini satu fase sidang di legislatif terlampaui. Urusan bersidang di rumah rakyat beserta dinamika dan waktu yang singkat kerap pula membuat mereka lelah. Apapun sebab lelah itu, namun yang jelas mereka ada di sana walau kadang menumpang berpindah tidur. Jika kemudian terdapat foto-foto berseliweran orang-orang tersumpah itu sedang pulas maka begitulah dinamika nya. Saya kira tak perlu juga kita mencari pangkal sebabnya. Boleh jadi mereka telah berjuang keras berdebat mengangkat harkat dan derajat rakyat, hingga terkantuk dan kepayahan.
Sebagai pemilik mandat, masyarakat pemilih punya kuasa menagih janji. Dan orang-orang tersumpah itu pun wajib melunasinya. Umpama ada aral melintang yang membuatnya gagal memenuhi janji, maka itu pun perlu ditabayunkan, dikomunikasikan dan dirumuskan amunisi dan pemikiran apa yang dibutuhkan agar janji itu dapat terealisasi. Regulasi kemudian menjembatani hal itu dengan reses.
Pada masa reses, jarang sekali stakeholder dapat dipertemukan dengan wakilnya di legislatif. Padahal reses adalah bagian dari hak pemilih di dapil kontestasi sebelumnya. Jika ditakar intensistas pertemuan ketika pemilu dan ketika reses, stakeholder pasti sangat jarang bertemu dengan wakil rakyatnya. Entah reses itu terkomunikasikan dengan baik atau malah para anggota dewan terhormat itu semakin tinggi ilmu halimunanya, sehingga tak tampak dan tak mungkin ditemukan di masa-masa reses.
Dari banyak anggota dewan terpilih, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten susah kita hitung siapa-siapa saja mereka itu yang benar-benar menggunakan reses sesuai dengan peruntukan dan kepentingan masyarakat pemilih. Padahal jelas, reses itu dibiayai oleh negara. Mereka ditugasi negara untuk mengkomunikasikan pencapaian kerjanya dan menjemput permasalahan di dapil masing-masing dengan dana yang harus dipertanggungjawabkan. Jika di entitas dapil tertentu tak pernah tampak batang hidung wakil rakyat yang dipilih, maka itu layak untuk dipertanyakan.
Reses harus menjadi arena dialog dan proses komunikasi antara politisi dengan konstituennya. Dengan demikian kerja legislatif dapat dipantau secara berkala oleh pemilihnya.
DR Dedi Kurnia Syah Putra dalam bukunya Political Social Responsibility mengatakan, reses tidak semata proses komunikasi menjinjit aspirasi, namun juga sebagai forum pertanggung jawaban kepada pemilihnya.
Pertanggungjawaban memiliki dua makna, pertama moral dan secara politik. Secara moral, anggota legislatif di semua tingkatan miliki kewajiban melaporkan kinerjanya kepada pemilih. Beberapa bulan di masa siang pertama itu telah ngapain aja. Termasuk juga membicarakan soal janji-janji yang terlanjur diucapkan. Masyarakat pemilih perlu diberikan progress sehingga mereka dapat memaklumi dinamika apa yang terjadi. Umpama janji itu tak mungkin terealisasi, boleh jadi forum reses jadi arena menebus janji itu dengan ridho yang mereka berikan. Komunikasi politik harus sampai ke tingkat yang paling substansial di masyarakat.
Kedua, reses dapat dimaknai secara politik. Sebagai seorang politisi, wakil rakyat dituntut menjaga ritme demokrasi. Hal ini akan menciptakan keseimbangan dan kesetaraan antara warga negara dengan dengam politisi. Dengan demikian reses benar-benar menjadi aktivitas tiap politisi sebagai wujud dan wadah menunaikan janji-janji politik.
Kegagalan wakil rakyat menerjemahkan dan mengimplentasikan reses akan berdampak tersendiri bagi legislatif itu sendiri. Ini bisa dijadikan jawaban, kenapa pemilu legislatif 2019 lalu banyak anggota dewan petahana berguguran. Mereka gagal manfaatkan reses sebagai bagian strategi untuk merawat konstituennya sendiri. Tidak jarang kegagalan mengelola masa reses terjadi. Sebabnya dana reses digunakan peleseran untuk kepentingan pribadi.
Bagi wakil rakyat yang cerdas, jelas bahwa reses ini sebagai bagian agenda paling strategis dalam dalam mempertahankan eksistensinya di periode pemilu berikutnya. Namun yang lebih penting, ini dapat digunakan sebagai “menahuri” janji tanpa harus merealisasikannya.
Oleh karena itu, wakil rakyat yang terhormat dapat menjadikan masa reses sebagai bagian yang harus dimulai dengan melakukan observasi isu. Dengan demikian anggota dewan dapat pengetahuan memadai sebelum turun ke lapangan.
Tidak berhenti di sana, ia pun mesti miliki peta pengelompokkan stakeholder yang akan ia sasar, entah itu kalangan buruh, entitas bisnis, wartawan dan lainnya sehingga dapat membantu bagaimana pesan-pesan itu harus dikomunikasikan.
Jika hal-hal ini dilakukan, maka wakil rakyat ini akan memiliki modal politik yang kuat pada masanya nanti, masa di mana proses politik dalam pemilu mendatang digelar.
Bagi masyarakat pemilih, reses ini betul-betul menjadi median menyeleksi politisi yang layak untuk diberi mandat dalam tampuk kekuasaan nanti.
Terakhir, menjadi politisi yang sempurna dalam menunaikan janji itu tentu tak ada. Nonsense. Artinya menjadi politisi dengan segudang janji itu sama halnya menumpuk hutang yang tak mungkin terbayarkan. Ini kemudian jadi persoalan berat karena bisa berimplikasi terhadap akhirat dan mudhorat dalam perjalanan spiritualnya menjemput fitrahnya: kematian.
Bicarakanlah di reses hingga masyarakat pemilih memaklumkan ikhtiar perjuangan yang sudah dilakukan. Jika pemilih ridho lalu memaafkan karena ihtiar itu, jadilah janji-janji itu gugur dan lunas. Jika tidak, hemmmm.