Polemik Penegakan Hukum UMKM “Mama Khas Banjar”: Persepsi Publik Terbentuk Lewat Pembingkaian Media Sosial

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat, Noviana Sari (Istimewa)

BANJARBARU, klikkalsel.com – Langkah penegakan hukum yang diambil oleh Polda Kalimantan Selatan terhadap usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal “Mama Khas Banjar” memicu perdebatan hangat di tengah masyarakat. Usaha yang bergerak dalam produksi dan distribusi produk pangan tersebut diketahui tidak memenuhi sejumlah persyaratan perizinan, termasuk izin edar dan distribusi bahan pangan.

Proses hukum yang berjalan sesuai prosedur standar justru menuai gelombang opini yang signifikan di kalangan pengguna media sosial. Sebagian besar warganet mempersepsikan Kapolda Kalimantan Selatan sebagai sosok yang represif dan kurang berpihak pada pelaku UMKM skala kecil. Narasi yang berkembang di berbagai platform media sosial cenderung menggambarkan tindakan kepolisian sebagai bentuk “kriminalisasi” terhadap pengusaha kecil.

Menanggapi fenomena ini, Noviana Sari, seorang Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Lambung Mangkurat, menjelaskan bagaimana teori Agenda Setting dalam komunikasi massa dapat menjadi lensa analisis yang relevan.

“Teori ini menekankan bahwa media tidak secara langsung memberitahu masyarakat apa yang harus dipikirkan, melainkan lebih fokus pada isu mana yang dianggap penting untuk dipikirkan,” ujarnya, Jumat (16/05/2025).

Baca Juga Ikuti Sidang Kabinet Paripurna, Menteri Nusron Terima Instruksi Presiden Prabowo Terkait HGU

Baca Juga Diskusi UMKM dan Perlindungan Konsumen, Sinergitas Pemerintah Sangatlah Diperlukan

Dalam konteks kasus “Mama Khas Banjar”, Sari menyoroti peran sejumlah akun media sosial berpengaruh yang secara konsisten membingkai penegakan hukum ini sebagai sebuah ketidakadilan sosial.

“Akun-akun ini cenderung menonjolkan sisi emosional dari pemilik UMKM, yang seringkali digambarkan sebagai sosok ‘ibu pejuang ekonomi keluarga’. Sementara itu, aspek legalitas dan urgensi keamanan pangan yang menjadi dasar tindakan kepolisian cenderung terpinggirkan dalam narasi yang beredar luas,” paparnya.

Pembingkaian isu yang demikian, lanjut Sari, secara efektif telah menetapkan agenda di benak publik. Media dan warganet secara kolektif memberikan sorotan utama pada kesulitan yang dialami pelaku UMKM dan melayangkan kritik terhadap tindakan aparat penegak hukum.

“Framing ini berpotensi menciptakan bias kognitif, di mana masyarakat menjadi lebih mudah terpengaruh oleh narasi emosional yang menekankan ketidakberdayaan UMKM, dibandingkan dengan menerima penjelasan rasional berdasarkan fakta hukum dan regulasi yang berlaku,” jelasnya.

Sari menekankan bahwa situasi ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh media dalam membentuk opini publik dan mengarahkan fokus perhatian pada isu-isu tertentu. “Kasus ‘Mama Khas Banjar’ menjadi contoh konkret bagaimana pembingkaian yang dominan di media sosial dapat secara signifikan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap sebuah peristiwa, bahkan mengalahkan pemahaman terhadap aspek hukum yang mendasarinya,” katanya.

Lebih lanjut, Sari mengimbau masyarakat untuk bersikap kritis dan mencari informasi dari berbagai sumber sebelum menarik kesimpulan terhadap suatu permasalahan. “Penting bagi kita untuk memiliki perspektif yang seimbang dan tidak hanya terpaku pada satu narasi yang dominan di media sosial,” tegasnya.

Di sisi lain, Sari juga memberikan catatan penting bagi aparat penegak hukum. “Kasus ini menjadi pembelajaran berharga bagi kepolisian untuk mengkomunikasikan setiap tindakan mereka secara transparan dan akuntabel kepada publik, terutama dalam isu-isu sensitif yang berpotensi menimbulkan polemik di tengah masyarakat,” pungkasnya. (Mada)

Editor: Abadi