Pihak Sekolah Kasus Dugaan Perundungan Antar Siswa Berikan Klarifikasi : Insiden Murni Perkelahian Akibat Candaan

Krisna Dewa, kuasa hukum sekolah yang diduga terjadi kasus perundungan saat memberikan klarifikasi kepada awak media.

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Dugaan kasus perundungan yang terjadi di sebuah Sekolah Dasar Terpadu Kecamatan Banjarmasin Selatan sempat ramai diperbincangkan di media sosial. Setelah menjadi sorotan publik, pihak sekolah akhirnya angkat bicara untuk meluruskan informasi yang beredar

Melalui kuasa hukumnya, Krisna Dewa, pihak sekolah menegaskan, insiden tersebut bukanlah perundungan, melainkan perkelahian spontan yang dipicu oleh candaan antar siswa.

“Terjadi bukan perundungan, melainkan perkelahian yang diawali dari saling bercanda antara para siswa,” ujar Krisna Dewa dalam keterangan resminya, Kamis (6/3/2025).

Dewa menjelaskan, perundungan umumnya bersifat berulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan, sedangkan kejadian ini terjadi secara spontan.

Bukti rekaman CCTV yang dimiliki sekolah menunjukkan bahwa sebelum insiden terjadi, anak pelapor dan terlapor terlihat bercanda bersama dua siswa lain di atas meja kantin.

Dari kronologis kejadian, peristiwa ini terjadi pada, Jumat 21 Februari 2025, menjelang waktu Ashar. Saat itu, para guru sedang melaksanakan salat di masjid.

Dalam rekaman CCTV, anak pelapor terlihat memukul-mukul temannya sambil bercanda hingga akhirnya anak terlapor menegur agar mereka tidak bermain di atas meja.

Baca Juga : Kasus Pencabulan di Sekolah, Terbaru ada Tujuh Korban dan Pelaku Mengaku Juga Pernah Menjadi Korban

Baca Juga : Polisi Tetapkan Pimpinan Salah Satu Ponpes di Martapura Sebagai Tersangka Pelecehan, Korban Puluhan Santri

Situasi berubah saat anak pelapor diduga mengatai anak terlapor dengan sebutan “gendut” dan mengacungkan jari tengah. Hal ini memicu kemarahan anak terlapor, yang kemudian membalas dengan pemukulan. Teman-teman lain yang melihat kejadian ini disebut ikut memukul karena mengira semuanya hanya bagian dari candaan.

Namun, pihak sekolah menyebut bahwa video ini belum sempat ditunjukkan kepada orang tua pelapor saat mediasi karena mereka datang dalam kondisi emosi dan hanya mengantongi potongan video yang menunjukkan momen saat anak terlapor memukul. Hal ini diduga menyebabkan kesalahpahaman.

“Saat datang ke sekolah, mereka sangat emosi sehingga kami belum sempat menunjukkan video ini,” jelas Dewa.

Menurut pihak sekolah, anak terlapor sudah diberikan sanksi berat, dan orang tua anak terlapor telah meminta maaf dalam mediasi. Namun, orang tua pelapor tetap meminta sanksi yang lebih berat, yakni agar anak terlapor dikeluarkan dari sekolah (drop out), serta menuntut biaya pemulihan psikologis sebesar Rp3 juta per pekan selama satu tahun.

“Kami tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut,” ungkap Handayani, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.

Karena tuntutan tersebut tidak terpenuhi, orangtua pelapor akhirnya melaporkan kasus ini ke kepolisian.

Pihak sekolah juga mengaku telah memenuhi panggilan untuk klarifikasi, tetapi menyayangkan langkah kepolisian yang langsung menerbitkan laporan polisi (LP) tanpa melalui pengaduan masyarakat (dumas) terlebih dahulu.

“Seharusnya, kasus seperti ini ditangani dengan pendekatan keadilan restoratif melalui proses diversi, mengingat semua pihak yang terlibat adalah anak-anak,” tegas Dewa.

Meski menegaskan bahwa mereka tidak memihak siapa pun dan menentang segala bentuk kekerasan, pihak sekolah berencana juga akan menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang dinilai mencemarkan nama baik sekolah.

“Kami masih belum tahu siapa saja pihak yang akan dilaporkan, kami masih mendalami,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi