BANJARMASIN, klikkalsel.com – Masifnya fenomena pemasangan bendera One Piece atau bendera Jolly Rojer hingga viral di media sosial menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan (HUT) Republik Indonesia yang ke-80 membuat Pemerintah seperti tersengat racun mematikan.
Pemasangan bendera One Piece yang terlihat di media sosial saat ini berada di bawah Bendera Merah Putih, yang dikatakan sebagai upaya menyuarakan kritikan ataupun ketidakpuasan atas aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Lantas benarkah hal tersebut dikatakan melanggar hukum, atau dikatakan sebagai upaya Makar, atau upaya memecah belah kesatuan dan persatuan di negara ini?
Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ahmad Fikri Hadin mengatakan bahwa apakah pemasangan bendera One Piece tersebut diperbolehkan atau tidak.
Ia menyampaikan bahwa, terkait pemasangan bendera negara sudah diatur dalam Undang-undang. Dimana kriterianya adalah bendera tersebut tidak boleh lebih besar atau lebih tinggi dari Bendera Merah Putih.
“Melihat berbagai macam kasus yang ada hari ini, posisi bendera One Piece itu berada dibawah bendera Merah Putih,” ujarnya, Senin (4/8/2025).
Lalu apakah itu diperbolehkan atau tidak? Fikri menjelaskan bahwa, dari kadar atau indikatornya tadi, hal itu masih memungkinkan agar tidak bermasalah.
“Itu masih memungkinkan saja, tapi kalau lebih besar dan tinggi, itu sudah mengarah kepada pelecehan lambang negara,” terangnya.
“Yang terjadi saat ini adalah simbol yang mewakili kritik publik hari ini tentang keadaan di negara kita,” tambahnya.
Baca Juga : Jolly Roger Mengudara, Picu Polemik Nasional Jelang HUT Kemerdekaan RI ke-80
Baca Juga : Bawa Sabu Hampir 5 Gram, Pria Paruh Baya Diringkus di Banjarmasin Timur
Ia pun menegaskan bahwa tidak ada ketentuan hukum atau putusan pengadilan yang melarang pemasangan bendera One Piece tersebut.
“Berbeda dengan bendera komunis, misalnya Palu dan Arit. Tentu itu sangat jelas dilarang,” tegasnya.
Dari banyaknya fenomena yang terjadi saat ini, menurutnya inti permasalahan tersebut adalah salah satu upaya masyarakat untuk menyampaikan berbagai kritik dengan dasar pasal 28E ayat 3 UUD.
“Disitu isinya adalah menjamin kebebasan berkumpul, menyatakan pendapat, termasuk ekspresi simbolik seperti ini masih diperbolehkan dalam negara kita,” tuturnya.
Namun ia sangat menyayangkan bahwa adanya fenomena yang terjadi saat ini, Pemerintah melakukan pembersihan dengan menurunkan aparat maupun TNI.
“Seharusnya dan seeloknya ada dialog lah diantara itu, mengapa hal ini terjadi. Karena ini sebagian dari ekspresi, dengan dasar tadi tidak lebih besar atau lebih tinggi dari bendera Merah Putih,” bebernya.
Ia kembali menegaskan bahwa pesan moral dari fenomena yang terjadi saat ini harus dijawab dengan dialog, bukan mencari celah hukum untuk menekan masyarakat, bahwa mereka itu salah dan bisa di hukum.
Bahkan menurutnya lagi, simbol-simbol yang muncul saat ini bukan mewakili negara lain atau organisasi terlarang, sehingga masih di perbolehkan.
“Fenomena yang terjadi saat ini memang agak masif, sehingga pemerintah terlihat dan terkesan represif dengan menurunkan para aparat-aparat penegak hukum,” ungkapnya.
Dengan upaya pembersihan oleh penegak hukum, apakah ini sebuah pembungkaman bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan.
Namun menurutnya hal ini masih menjadi perdebatan di masyarakat. “Kalau indikatornya seperti tadi saya fikir harusnya biasa-biasa saja,” ucapnya.
“Tapi karena ini viral dan menjadi konsumsi publik yang dipandang secara keamanan membahayakan, sehingga perlu dicegah. Tetapi sekali lagi kalau benderanya kecil dan dibawah bendera merah putih, itu masih di perbolehkan,” pungkasnya.(fachrul)
Editor : Amran





