Pekan Jurnalistik ke-V, LPM Lentera Uniska Soroti Tingkat Kebebasan Pers

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Sejumlah Mahasiswa yang tergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari menggelar Pekan Jurnalistik ke-V (lima), Sabtu (19/6/2021).

Pekan Jurnalistik ke-V tersebut dihelat di salah satu hotel di Banjarmasin, dengan menghadirkan dua pembicara, Nurdin Amir dan Diananta Putera Sumedi yang sama-sama menyoroti tingkat kebebasan pers di Indonesia dinilai kian memburuk di tengah pandemi Covid-19.

Nurdin Amir menjelaskan, penyebab memburuknya kebebasan pers di masa pandemi disebabkan maraknya gelombang penolakan Undang-Undang Omnibus Law di tahun lalu.

Ia mengungkapkan, hal tersebut, mengacu dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia selama setahun terakhir. Saat itu yang menjadi korban kekerasan bukan hanya demonstran, bahkan juga para wartawan.

“Mei 2020 sampai Mei 2021 pelaku terbanyak adalah aparat kepolisian,” ungkap Ketua AJI Kota Makassar itu di Pekan Jurnalistik ke-V.

Ia mencontohkan, seperti halnya kasus Nurhadi, jurnalis Tempo di Surabaya yang mengalami kekerasan saat liputan.

“Alih-alih menyelesaikan permasalahan yang menimpa pada jurnalis, aparat malah terkesan melambat-lambatkan proses kasus tersebut,” kata Nurdin.

“Sampai hari ini sudah ada tersangka kasus Nurhadi di Surabaya, tapi pelakunya masih bebas berkeliaran. Artinya tindakan serius dari aparat kepolisian, penyidik di Polda Jawa Timur itu tidak konsisten dengan itu,” sambungnya.

Senada dengan Ketua Aji Kota makassar, Diananta juga mengakui kebebasan pers setahun terakhir malah tambah buruk.

Baca Juga : Menghadirkan Penyintas Kekerasan Wartawan, Pekan Jurnalistik LPM Lentera Uniska Kembali Digelar

Di samping itu, ia menyoroti naiknya Indeks Kebebasan Pers (IKP) tahun 2021 di Bumi Lambung Mangkurat. Dari skor 78,89 menjadi 81,64.

“Bahkan lebih tinggi dari IKP nasional yang hanya 76,02. Indikator yang diambil yakni kondisi lingkungan politik, ekonomi dan hukum,” jelasnya.

Menurutnya, hal tersebut tak sesuai dengan fakta di lapangan. Sebab, ia menilai ketiga indikator penilaian tersebut masih ada ketimpangan dengan kondisi di Kalsel.

“Contohnya, lingkungan politik,” ujarnya.

Ia menyebut banyak aktor politik menguasai media. Lantaran terlihat jelas bahwa kepentingan-kepentingan politik menguasai media-media online yang mana hal tersebut membuat ruang redaksi tidak lagi independen.

Kemudian lingkungan ekonomi. Ia juga menilai masih banyak wartawan yang diberi upah jauh di bawah Upah Minimum Kota/Provinsi. (rilis/airlangga)

Editor : Akhmad

Tinggalkan Balasan