Pasar Telawang dan Kawasan Perbudakan Sex Masa Pendudukan Jepang

Ilustrasi Wanita penghibur masa kependudukan jepang (foto: internet)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di balik keramaian Pasar Telawang yang kini menjadi satu di antara denyut perputaran ekonomi warga Banjarmasin, tersimpan kisah tragis yang nyaris tenggelam oleh zaman.

Lokasi pasar tersebut dulunya adalah sebuah asrama militer Jepang yang dikenal dengan nama “Ian Jo”, tempat puluhan perempuan muda dipaksa menjadi budak seks atau disebut Jugun Ianfu selama pendudukan Jepang tahun 1942–1945.

Hal itu dikisahkan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur saat dihubungi klikkalsel.com pada, Sabtu (3/5/2025).

Kala itu, para perempuan didatangkan dari Pulau Jawa dengan dalih bekerja sebagai penyanyi atau pekerja sandiwara. Namun, setibanya di Kalimantan, mereka langsung dikurung dan dipaksa melayani tentara Jepang.

“Mereka ditipu. Banyak dari mereka masih remaja, bahkan ada yang belum menstruasi. Di lokasi yang sekarang menjadi Pasar Telawang itulah mereka dipaksa melayani tentara setiap hari,” kata Mansyur.

Asrama yang dulunya berada di ujung Jalan Residen de Haanweg (sekarang Jalan Lambung Mangkurat) itu memiliki bilik-bilik berukuran 3×2,5 meter. Tiap bilik lengkap dengan ranjang, meja, kelambu, selimut, dan botol pembersih alat kelamin.

Semua diatur untuk kenyamanan tentara Jepang, bukan untuk penghuni asrama yang sebenarnya diperlakukan layaknya tahanan.

Menurut data dan informasi yang Mansyur dapat pada 10 Desember 2007, sejumlah nama korban berhasil diidentifikasi.

Di antaranya adalah R.A. Soetarbini dan Mardiyem dari Yogyakarta. Mereka awalnya bergabung dengan kelompok sandiwara keliling bernama Pantja Soerja, berharap meraih mimpi di dunia hiburan. Namun, nasib berkata lain.

Dalam buku Momoye; Mereka Memanggilku karya Eka Hindra, Mardiyem mengenang dengan getir bagaimana ia diperkosa untuk pertama kali saat masih mengalami pendarahan hebat.

“Ia diperkosa oleh seorang pria brewokan, pembantu dokter di Telawang. Hari itu ia langsung dipaksa melayani enam laki-laki,” ujar Mansyur.

Baca Juga : Sejarah Kelam “Praktik Lahung” di Banjarmasin Pada Masa Kolonial

Baca Juga : Dirayu Menjalin Hubungan Serius, Seorang Pemuda Setubuhi Gadis 15 Tahun

Para perempuan itu tidak hanya melayani tentara biasa, tetapi juga pejabat tinggi Jepang seperti Kepala Kempeitai, Kepala Bank Tokyo, hingga direktur perusahaan besar seperti Mitsubishi dan Toyo Menka.

Untuk mendapatkan layanan, tentara Jepang membeli karcis yang dijual sesuai pangkat dan waktu kunjungan. Siang hari untuk serdadu dikenakan 2,5 yen, malam 3,5 yen, dan dini hari untuk perwira dikenakan 12,5 yen.

Setiap karcis disertai satu kondom buatan lokal yang diproduksi di pabrik Nomura, Teluk Tiram, di bawah pengawasan militer.

“Produksi kondom mencapai 3.000 biji per hari, dipimpin langsung oleh Lamberi Bustani atas perintah Jepang,” jelas Mansyur.

Meski diberi libur dua hari dalam sebulan, yakni tanggal 8 dan 20, para perempuan itu tetap tak berdaya. Transportasi sulit, komunikasi terbatas, dan warga sekitar takut berhubungan dengan mereka karena ancaman dari militer Jepang.

Upaya pelarian hampir mustahil. Warga yang mencoba membantu bisa dikenai sanksi berat, termasuk kurungan hingga enam bulan.

“Penolakan melayani tamu pun berujung pada penyimenggunakanksaan atau kematian, imbuhnya.

Tapi tahukah, sebelum asrama Telawang berdiri, tentara Jepang sempat beberapa lokasi pelacuran di Kampung Kertak Baru, , dan Kampung Gedang. Namun setelah lan Jo beroperasi, tempat-tempat tersebut dibubarkan.

“Warga diminta mengusir perempuan lacur dari kadaampung dan diarahkan ke lokasi yang telah ditentukan militer, yakni Telawang,” ujar Mansyur. Mu

Kini, tak penanda sejarah di bekas Ian Jo. Pasar Telawang tetap berdiri, ramai setiap hari, sementara sejarah kelam di bawahnya nyaris terkubur. (airlangga)

Editor: Abadi