MARTAPURA, klikkalsel.com – Masyarakat Banjar salah satunya terkenal dengan berbagai mistik dan juga aneka kultur masyarakatnya. Seperti halnya wafak dan rajah, mandi bungas merupakan sebuah ritual yang sering ditemui di Kalimantan Selatan saat memasuki 14 malam Jumat (dalam hitungan Hijriyah).
Ritual mandi bungas ini kebanyakan dijalani oleh anak muda di Kalimantan Selatan, konon ritual tersebut bisa menambah percaya diri (PD) dan dapat meningkatkan wibawa hingga untuk memikat lawan jenis, serta membuat orang yang memandang pelakunya menjadi kasihan.
Seperti salah satu pelaku mandi bungas yang berhasil ditemui klikkalsel.com, Jauhar Arifin (32) mengaku melakukan ritual tersebut untuk menambah percaya diri dan juga untuk meningkatkan aura dalam memikat lawan jenis.
“Saya pernah melakukannya pada saat masih menjadi santri di Martapura sekitar tahun 2009 lalu,” ujarnya kepada klikkalsel.com, Sabtu (04/05/2024).
Jauhar menceritakan, ritual tersebut di lakukan selepas diajarkan oleh Gurunya di pesantren, bertepatan dengan tanggal 14 pada malam Jumat, ia melaksanakannya beramai-ramai di bawah sinar bulan purnama.
Ia mengerjakan mandi tersebut bersama dengan para temannya serta santri lain yang berjumlah belasan orang.
“Banyak orangnya, jadi di daerah Pekauman itu dulu sebelum jadi RTH, kita mandi di sana, mengambil air dengan ember di sungai, lalu kita membaca amalan yang dikasih oleh guru kita,” bebernya.
Jauhar mengatakan, rujukan ia dalam melakukan ritual mandi bungas tersebut sesuai dari pelajaran yang diberi oleh gurunya adalah melalui Kitab Azkar Nawawi (karangan Imam Nawawi).
Ditanya terkait khasiat dari mandi bungas, ia mengakui dirasakan oleh dirinya dan teman-temannya, seperti kepercayaan diri meningkat, serta aura lebih terpancar, hingga berhasil memikat lawan jenis.
“Buktinya banyak kawan-kawan kita yang memang berhasil memikat lawan jenis, percaya diri kita jadi meningkat, dan juga disukai orang,” ujarnya.
Sementara itu, Antropolog Muda Kalsel, Muhammad Andrie Iskandar mengatakan, dalam penelitiannya di tahun 2009 lalu, kebanyakan yang mempraktekkan mandi bungas ini adalah para santri. Namun tidak jarang ada juga para Calon Legislatif (Caleg) hingga orang yang ingin maju dalam Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang melakukannya.
Pasalnya, ritual tersebut konon katanya, selain dapat memikat lawan jenis, juga dapat menambah kepercayaan diri, dan mengangkat pamor pelakunya.
“Kebanyakan yang saya temui pada saat meneliti ritual mandi bungas ini adalah para santri, karena kebanyakan dari mereka usianya masih meurak bulu (anak baru gede dalam istilah Banjar, red). Namun ada juga yang dilakukan oleh para calon pejabat,” bebernya.
Tata cara mandi bungas juga beragam, dari dimandikan oleh tuan guru, atau mandi sendiri dengan tata cara yang diberikan oleh gurunya.
“Dan untuk orang yang memandikan ini kebanyakan yang dicari adalah yang fasih membaca Al Quran, tuan guru, hingga tokoh masyarakat terkenal seperti Almarhum Kai Ikai, Almarhum Guru Nuzhan, Guru Anang Maturidi, Nini Imai, dan beberapa tokoh lainnya,” jelasnya.
Selain itu, mandi bungas juga menurut Andrie terdapat berbagai macam persyaratan, seperti menyiapkan kembang 7 rupa, hingga kain. Namun ada juga orang yang memandikan telah menyiapkan persyaratan tersebut.
“Sebelum mandi, ada beberapa macam cara juga, seperti dikasih lampahan (amalan, red) untuk dibaca, serta dirajah oleh tuan guru dari kepala, lidah hingga badan,” bebernya.
Ritual ini biasanya dikerjakan sekitar pukul 23.00 hingga 00.00 malam, mengambil momen bulan purnama tepat berada ditengah langit.
Baca Juga Ajang Memperkenalkan Kebudayaan dan Sejarah, Kongres VI JKPI Bakal Digelar di Banjarmasin
Baca Juga Sejarah Kode Plat Kendaraan DA di Kalsel: Apakah Singkatan?
“Kenapa mengambil momen bulan purnama? ini bertujuan atau hakikatnya seperti cahaya bulan yang teduh, enak dipandang serta pasti disukai orang,” jelasnya.
Tidak hanya itu, mandi bungas juga memiliki berbagai macam pantangan setelah melaksanakan ritual, seperti berzinah, minuman keras, serta musyrik. Larangan atau pantangan tersebut sebagai mana di dalam agama Islam yang disebut dosa besar.
“Namun ada juga pantangan lain, kalo dalam Antropologi Kultural itu seperti tidak boleh lewat dibawah dadaian (jemuran, red) terlebih yang ada celana dalam wanita. Begitu kemarin waktu saya penelitian yang disampaikan oleh pelaku dan praktisinya,” ucapnya.
Selain itu, ia menjelaskan terkait para tuan guru yang sering memandikan orang mendapatkan ilmu dari keluarganya, seperti datuk, kakek, hingga ayah, atau dari paman.
“Kebanyakan turun temurun sih, seperti dari kakek, atau dari keluarga ke keluarga juga,” tuturnya.
Ditanya tentang kapan masuknya ritual mandi bungas di Kalsel?
Pengurus Daerah (Pengda) Asosiasi Antropolgi Indonesia (AAI) Kalsel ini mengakui, dari tatacara dan rujukan kitab yang dibawa serta melihat adanya rajah yang dipakai, kemungkinan besar masuk pada Zaman Datu Kalampayan.
“Kemungkinan masuknya ritual ini berbarengan dengan masuknya rajah dan wafak di Kalsel, karena metodenya dan tatacaranya ada yang sama,” bebernya.
Namun, Andrie mengakui dari hasil penelitiannya tersebut, ritual mandi bungas juga ada dilakukan tidak pada saat 14 malam Jumat, namun pada hari biasa.
Hingga saat ini, ritual mandi bungas masih digandrungi oleh masyarat Banjar untuk meningkatkan kepercayaan diri, seperti praktisi mandi bungas yang berada di Desa Dalam Pagar, Martapura Timur, Nini Imai (66) jika dalam beberapa waktu lalu ada 3 orang yang datang ke tempatnya.
“Baru ada yang minta mandikan, tiga orang semalam,” ujar Nini Imai saat ditemui klikkalsel.com. (Mada Al Madani)
Editor: Abadi





