Budaya  

Mansan, Kearifan Lokal Orang Bakumpai yang Mulai Tergerus Zaman

Hubung (Pondokan sederhana) tempat istirahat selama mansan. (sumber : Nasrullah, Antropolog ULM dan dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FKIP ULM)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di tengah arus modernisasi dan kehidupan perkotaan, sejumlah istilah dalam bahasa daerah perlahan mulai jarang terdengar, salah satunya adalah (mansan) dalam bahasa Bakumpai.

Istilah ini secara sederhana dimaknai sebagai menetap sementara untuk bekerja, sebuah praktik hidup yang sarat nilai budaya dan etos kerja masyarakat Bakumpai.

Mansan kini mulai asing, terutama bagi penutur Bakumpai yang bermukim di wilayah perkotaan. Namun, praktik ini masih tetap dijalankan oleh masyarakat Bakumpai di pedesaan, khususnya mereka yang menggantungkan hidup dari pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Menurut Nasrullah, Antropolog ULM dan dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FKIP ULM, mansan tidak sekadar istilah, tetapi mencerminkan pola hidup dan cara pandang orang Bakumpai terhadap pekerjaan.

“Mansan itu bukan hanya pergi dan tinggal sementara, tetapi ada nilai pengorbanan dan kesungguhan bekerja di dalamnya,” ujar Nasrullah, Jumat (19/12/2025).

Ia menjelaskan, istilah mansan dapat digunakan baik untuk binatang maupun manusia, namun dengan makna yang berbeda. Pada binatang, mansan menunjukkan aktivitas menetap sementara di tempat yang bukan habitat asalnya.

Contohnya dalam ungkapan manuk mansan hunjun bandat (ayam menetap sementara di atas lumbung padi), yang menggambarkan ayam tinggal sementara di bandat atau lumbung padi.

Baca Juga : Memaknai Sakit dalam Tradisi Bakumpai: Antara Medis, Budaya, dan Keharmonisan Alam

Baca Juga : Ritual Badewa, Pengobatan Tradisional Suku Dayak Bakumpai

Sementara itu, untuk manusia, mansan tidak hanya berarti menetap sementara, tetapi juga mengandung unsur bekerja. Seperti dalam kalimat apa dengan uma ulun telu andau tuh mansan kan padang (ayah dan ibu saya sudah tiga hari pergi mansan ke tempat kerja).

“Bagi manusia, mansan selalu berkaitan dengan kerja. Ada tujuan ekonomi dan tanggung jawab keluarga yang dibawa,” jelas Nasrullah.

Dalam praktiknya, orang Bakumpai pergi mansan untuk mencari purun, ikan, rotan, kayu galam (Melaleuca cajuputi), dan hasil alam lainnya.

Selama mansan, mereka meninggalkan kampung halaman selama beberapa hari bahkan minggu. Sebagai tempat tinggal sementara,mereka mendirikan hubung atau pondok sederhana yang seluruh bahan bangunannya berasal dari pohon galam, mulai dari tiang, dinding, hingga atap yang terbuat dari kulit galam.

Mereka juga membawa peralatan kerja serta bekal bahan makanan untuk mencukupi kebutuhan selama berada di lokasi mansan.

Selama masa tersebut, hampir seluruh aktivitas dan pikiran difokuskan pada pekerjaan. Jarak dengan keluarga dan kehidupan sosial kampung pun menjadi konsekuensi yang harus diterima.

“Nilai mansan itu adalah totalitas bekerja. Orang Bakumpai mengisolasi diri sementara waktu demi memenuhi kebutuhan hidup,” tutur Nasrullah.

Ia menambahkan, meski praktik mansan masih bertahan di pedesaan, “pelestarian istilah dan nilai budaya di dalamnya perlu terus dilakukan agar tidak hilang ditelan perubahan zaman,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi