BANJARBARU, klikkalsel.com – Puluhan massa yang terdiri dari beberapa korban mafia tanah di Banjarmasin mendatangi Kantor Pengadilan Tinggi Banjarmasin di Jalan Bina Praja Timur, Komplek Perkantoran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2024).
Bukan tanpa alasan, kedatangan massa yang dipimpin Sojuangon itu untuk mempertanyakan keputusan Hakim yang Bebaskan Hasbiansari dalam Kasus Pemalsuan Surat Tanah.
Kasus mafia tanah yang telah menimpa Sojuangon dan keluarganya sejak tahun 2006 terus bergulir tanpa kejelasan. Hingga saat ini, mereka tidak dapat memanfaatkan tanah yang mereka beli sejak tahun 2006.
“Karena tempat usaha telah dihancurkan, termasuk kolam pemancingan, penjualan tanaman hias, serta rumah makan yang dikelola,” ujarnya.
Karena itu, saat ini pihaknya sedang berupaya mencari keadilan, bahkan Erni Saragih, istri Sojuangon juga telah melaporkan adanya dugaan pemalsuan surat yang dilakukan oleh kelompok mafia tanah kepada Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Satgas Anti Mafia Tanah.
Penyelidikan oleh pihak kepolisian menemukan bahwa terdapat pemalsuan tanda tangan H. Idop dalam SKKT Nomor 18/A.1/PB–III/2004 atas nama Husaini, yang menjadi dasar terbitnya Sertifikat Nomor 2264.
Hasil Laboratorium Kriminalistik menyimpulkan bahwa tanda tangan tersebut adalah tanda tangan karangan atau palsu (spurious signature). Pemalsuan ini juga tercatat dalam Akta No. 97, tanggal 31 Januari 2018, yang merupakan akta pelepasan hak dan kuasa dari Husaini kepada Hasbiansari, yang dibuat di hadapan Notaris Achmad Adjie Suseno.
“Setelah penyelidikan panjang, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Husaini (mantan anggota DPRD Kalsel), Achmad Adjie Suseno (Notaris), dan Hasbiansari,” ungkapnya.
Husaini dan Hasbiansari kemudian berubah status menjadi terdakwa dan menjalani persidangan. Dalam persidangan, Hasbiansari dinyatakan bersalah dan divonis tiga tahun penjara berdasarkan Putusan Nomor 391/Pid.B/2024/PN Bjm, meskipun hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Majelis hakim dalam putusannya mempertimbangkan berbagai bukti, termasuk hasil Laboratorium Forensik Polri serta keterangan dari 20 saksi fakta dan 2 saksi ahli, yang seluruhnya mendukung bahwa Hasbiansari terlibat dalam penggunaan surat-surat palsu.
Bahkan, Hasbiansari sendiri mengakui bahwa Sertifikat Nomor 2264 dibuat berdasarkan data yang mengandung keterangan palsu.
Namun, pada putusan banding di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dengan Nomor 214/Pid/2024/PT Bjm, terdakwa Hasbiansari justru dibebaskan oleh hakim.
Saat aksi Sojuangon, dalam orasinya, mengkritik keras keputusan tersebut dengan menggambarkan tindakan para terdakwa seperti “membuat kue beracun” dan kemudian berusaha menyebarkan racun tersebut.
Baca Juga Korban Mafia Tanah Gelar Aksi di PN Banjarmasin, Protes Keputusan Hakim
Menurutnya, semua pihak yang terlibat, termasuk Husaini, Hasbiansari, dan notaris Achmad Adjie Suseno, sadar akan adanya kepalsuan dalam dokumen tersebut.
Sojuangon juga mempertanyakan logika majelis hakim yang menyatakan bahwa belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Akta Notaris No. 97 tersebut tidak sejati atau palsu.
Ia menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 dan UU Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021.
“Jika logika tersebut diterapkan, maka proses penyidikan dalam kasus narkoba harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa barang bukti tersebut adalah narkoba. Hal ini jelas bertentangan dengan praktik yang selama ini berlaku, di mana cukup dengan hasil pemeriksaan laboratorium untuk membuktikan bahwa barang tersebut adalah narkoba,” imbuhnya.
Sojuangon juga menyatakan bahwa pertimbangan hakim tersebut bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04/1980 tentang pasal 16 UU 14/1970 yang menyatakan bahwa hakim pidana tidak terikat pada putusan hakim perdata.
Ia berharap Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap hakim-hakim yang diduga tidak profesional dan berpihak dalam perkara ini.
“Juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas kasus mafia tanah ini, yang menurutnya melibatkan oknum anggota DPR RI,” tuturnya.
Disamping itu, Humas Pengadilan Tinggi Banjarmasin Chrisfajar Sosiawan menanggapi adanya aksi tersebut mengatakan, sementara ini pihaknya akan berkoordinasi dengan pimpinan terkait maksud dan tujuan dari massa aksi yang ingin mendapatkan penjelasan secara tertulis.
Mengenai bukti yang menjadi dasar pertimbangan yang mulia hakim dalam perkara pidana nomor 214/Pit/2024/PN-Bjm karena menduga hakim tidak teliti, cermat serta tidak adil, jujur atau telah berpihak.
“Setelah saya berkoordinasi dengan hakim yang memutus, pokok perkara Hasbiansari di PN perkara nomor 391/Pit/2024-PN Bjm 31 Juli 2024 diputusnya terdakwa dinyatakan terbukti melakukan pasal 264 ayat 2 KUHP menggunakan surat palsu,” jelasnya.
Namun, juga ada perkara 454/Pid.B/2024/PN Bjm yang diputus pada 11 September terdakwa notaris Achmad Adjie Suseno dinyatakan tidak terbukti melakukan pasal 264 ayat 1 tentang membuat akta palsu.
“Karena ini bukan akta palsu maka bandingnya pak Hasbiansari perkara nomor 214/Pit/2024 yang diputus pada 19 September lalu perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan perbuatan tindak pidana,” ungkapnya.
“Terbukti menggunakan surat, tetapi ternyata suaranya itu berdasarkan putusan nomor 454 itu bukan surat palsu sehingga di onslag,” sambungnya.
Meskipun demikian, pihaknya juga belum dapat memberikan jawaban tertulis dalam waktu dekat seperti yang diminta para massa aksi karena harus mengkoordinasikannya terlebih dahulu kepada pihak pimpinan.
“Saya belum bisa memastikan apakah ini ditindaklanjuti atau tidak karena pimpinan nanti yang akan memutuskan,” pungkasnya.(airlangga)
Editor : Amran